People

Peluru Cinta: Rebelfest 2025 dan Solidaritas untuk Rakyat dan Orangutan

Penulis: Annisa Rahmawati

Yogyakarta, 31 Agustus 2025. Di tengah situasi gemuruh aksi anak-anak bangsa yang sedang bergejolak dimana berbagai elemen masyarakat telah turun ke jalan, melakukan demonstrasi di berbagai kota di Indonesia menentang kebijakan yang menindas rakyat dan protes kepada penguasa yang telah kehilangan empatinya terhadap kehidupan rakyat, Gelombang aksi-aksi tersebut bahkan telah memakan korban jiwa di tengah benturan keras yang terjadi di lapangan, peristiwa ini sungguh meninggalkan luka, duka cita dan keprihatinan yang mendalam bagi kita semua.

Di sisi lain, di Yogyakarta menggelorakan salah satu aksi perlawanan yang berbeda, pada tanggal 31 Agustus 2025, dentuman konser musik punk di Rebelfest 2025, menawarkan ruang persaudaraan dan ruang  ekspresi perlawanan, solidaritas, sekaligus sebuah harapan terbaik untuk negeri ini.

Malam itu, 15 ribu anak muda memenuhi stadion Maguwoharjo Sleman. Para comrades dan outsider mengenakan atribut-atribut punk dominasi kaos hitam penuh pesan ekspresif, hingga bendera-bendera komunitas berkibar, tapi anehnya suasananya tetap tertib. Energi punk yang sering dipersepsikan liar justru mengalir sebagai disiplin kolektif: semua hadir bukan hanya untuk musik, tapi untuk merayakan kepedulian, kebebasan, solidaritas dan persaudaraan.

Musik dan komunitas Punk lahir pada pertengahan 1970-an di Amerika Serikat dan Inggris, ketika generasi muda kelas pekerja menghadapi stagnasi sosial dan ekonomi. Band seperti Sex Pistols atau The Clash menggebrak musik dengan genre baru, selain itu juga menegakkan sikap anti-otoritarian, dan menolak tunduk pada kapitalisme yang menindas. Punk adalah keberanian menyuarakan suara perlawanan dari bawah tanah.

@Annisa/Geopix

Gelombang aliran musik punk sampai ke Indonesia pada akhir 1980-an hingga 1990-an. Dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, hingga Bali, punk berkembang sebagai suara alternatif bagi anak muda yang terpinggirkan . Punk di Indonesia berdenyut bersama isu sosial dan lingkungan. Sebagai contoh Superman Is Dead dari Bali, misalnya, menjadikan punk sebagai alat perlawanan terhadap reklamasi Teluk Benoa, Sukatani dengan lirik kritisnya yang viral tentang polisi dan politisi yang nir-empati, dan di Yogyakarta, Rebellion Rose muncul sebagai wajah anarcho-punk, konsisten mengusung kebebasan, keadilan sosial dan ekologis.Band ini dibentuk tahun 2008 ini dimotori oleh Fyan Sinner (vokal), Maximum Max (gitar), P Paul Ryan (bass) dan Sandi “King’’ (drum). Perhelatan kemarin juga sekaligus merayakan 17 tahun Rebellion Rose, band yang aktif terlibat dalam kerjasama konser amal “Sounds for Orangutan” bersama Centre for Orangutan Protection (COP) beberapa tahun terakhir. 

Rebelfest 2025 memperlihatkan wajah sesungguhnya komunitas punk. Salah satu momen paling menggetarkan adalah ketika lagu “Terimakasih” dinyanyikan oleh Rebellion Rose. Ribuan suara menyatu, pecah dalam doa penuh cinta untuk orang tua.

Maafkan aku yang belum bisa bahagiakanmu
Belum mampu menjadi seperti yang kau mau
Maafkan bila aku pernah buatmu kecewa
Mohon maafku hanyalah bagimu

Terima kasih ayah ibuku
Doa restumu menguatkan aku
Takkan terganti kasih sayangmu
Semoga Tuhan selalu memberkati

Banyak penonton terisak dan terharu, saksi bahwa ternyata anak punk memiliki kerendahan hati, cinta, dan doa yang menopang kehidupan mereka.

Beberapa saat kemudian, energi hard core punk meledak ketika lagu “Libertas” dikumandangkan oleh Rebellion Rose

Kami ingin berdiri sendiri tanpa diinjak
Kami bersuara untuk hidup yang layak
Kembalikan hak keringat kami yang diperas tetesan emas
Kami ingin merdeka di negeri ini tanpa ditindas
Kami butuh kebebasan tanpa kekerasan

Reff yang dinyanyikan bersama ribuan orang berubah menjadi manifesto jalanan:

Libertas libertas liberation
Senyumanmu kebebasan
Senyuman individu merdeka
Nafas-nafas kemenangan
Teriakan kebebasan
Libertas libertas liberation
Merdeka terbebas tampar ia yang menindas

@yk.rebelfest2025

Dalam satu panggung, Terimakasih dan Libertas memperlihatkan paradoks indah punk: ia dapat  menjadi doa yang lembut mengalun sekaligus  perlawanan yang keras menusuk

Rebelfest 2025 juga membuka ruang kolaborasi lintas gerakan. Tahun ini, festival memberi panggung kepada COP untuk menyuarakan perlindungan orangutan. Para aktivis tidak hanya hadir sebagai tamu, tetapi diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan kepada para comrades dan pengunjung untuk penyelamatan orangutan.

@Annisa/Geopix

Melalui hashtag dan petisi #SendBackHomeOrangutan yang juga dielaborasikan dengan kampanye-kampanye perlindungan satwa liar yang diusung oleh  Geopix dan para aktivis pembela orangutan ini mendesak India untuk memulangkan sedikitnya 15 individu orangutan Indonesia yang diselundupkan ke sana sejak tahun 2015.

@Annisa/Geopix
@Opik

Sorakan penonton bergemuruh, Orangufriends, salah satu ujung tombak aksi-aksi perlindungan orangutan dan habitatnya di Indonesia juga tampak meliar, moshing bersama para comrades, merayakan kebebasan dan solidaritas yang terbangun lintas spesies. Malam itu, dentuman punk bersatu dengan suara orangutan menegaskan dukungan untuk hak hidup orangutan yang lebih baik di habitat aslinya.

Punk di Indonesia bukan semata imitasi dari Barat, tetapi punya wajah khas: penuh solidaritas, penuh perlawanan, dan berpihak pada kehidupan. Energi malam itu menunjukkan bahwa punk adalah energi alternatif perlawanan  tetapi bukanlah suatu perlawanan yang destruktif, melainkan transformasi kreatif dari narasi-narasi perlawanan. Desakan energi kritik-kritik sosial dan amarah atas ketidakpuasan yang biasanya tersumbat, dialirkan lewat pogo, mural spontan, teriakan kolektif, hingga solidaritas bagi mahasiswa, rakyat, dan orangutan.

@Dimi

Konser ini akhirnya menjadi sesuatu yang lebih besar dari musik. Ia adalah doa kepada ibu, pengakuan pada ayah, solidaritas bagi rakyat tertindas, dan suara bagi satwa liar yang terancam. Rebelfest 2025 menunjukkan bahwa punk akan tetap hidup, relevan, dan berpihak pada masa depan yang lebih baik untuk kita semua.

Dan di tengah segala stigma yang melekat, satu hal menjadi jelas malam itu: para punk adalah peluru cinta, menembus dinding-dinding kokoh ketidakadilan, membelah sunyi bagi mereka-mereka yang terpinggirkan, dan menyalakan harapan untuk masa depan yang lebih bebas, lebih adil dan penuh cinta.

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button