Saat Sajadah Tak Menyentuh Alam dan Sesama: Transformasi Kesalehan Ritual Menuju Kesalehan Sosial-Ekologis dalam Perspektif Islam Rahmatan lil ‘Ālamin

Penulis: M. Hermayani Putera
Pontianak, 19 September 2025. Kesalehan dalam Islam kerap dipersempit pada praktik ritual: shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, hingga ibadah haji dan umrah. Namun, bila berhenti pada ranah individual, kesalehan mudah tereduksi menjadi rutinitas spiritual yang kehilangan makna sosial. Padahal, Islam hadir bukan hanya untuk membentuk pribadi yang taat, tetapi juga menegakkan tatanan masyarakat yang adil, harmonis, dan lestari—sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya.
Konsep Islam rahmatan lil ‘ālamīn menegaskan bahwa kesalehan sejati harus bertransformasi menjadi energi sosial-ekologis. Fazlur Rahman menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi juga a social order yang menuntut hadirnya keadilan dalam ruang publik. Seyyed Hossein Nasr mengingatkan bahwa krisis ekologis modern berakar pada terputusnya manusia dari kesakralan alam, sehingga pemulihan hubungan sakral dengan kosmos menjadi syarat etika lingkungan Islami. Sementara itu, Nurcholish Madjid menekankan bahwa iman yang autentik harus mewujud dalam moralitas publik yang membawa maslahat bagi masyarakat luas.
Kesalehan individual merupakan fondasi spiritual seorang muslim. Ibadah ritual berfungsi meneguhkan hubungan vertikal (ḥablum minallāh) sekaligus melatih disiplin moral. Namun, tujuan ibadah tidak berhenti pada pengulangan mekanis, melainkan harus melahirkan kesadaran diri, keikhlasan, dan kepekaan sosial. Al-Qur’an menegaskan bahwa shalat berperan mencegah perbuatan keji dan munkar, yang berarti ibadah ritual sejatinya diposisikan sebagai transformator etika dan perilaku.
Fazlur Rahman menegaskan bahwa inti ajaran Islam bukanlah formalitas ibadah, melainkan nilai-nilai moral yang menopang setiap amal ritual. Karena itu, kesalehan ritual tidak boleh berhenti di ruang privat, melainkan harus berujung pada kesalehan moral dan sosial. Kesalehan individual menemukan maknanya ketika menjelma menjadi energi sosial (ḥablum minannās) dan ekologis (ḥablum minal ‘ālam). Transformasi ini mencakup tiga dimensi penting:
1. Dimensi sosial: memperjuangkan hak-hak kelompok lemah, membangun solidaritas, dan menegakkan keadilan.
2. Dimensi ekologis: menjaga alam sebagai amanah Allah, mengelola sumber daya dengan adil, serta menolak praktik eksploitatif yang merusak keseimbangan.
3. Etika konsumsi: menghindari isrāf (berlebih-lebihan) dan tabdzīr (pemborosan) yang mempercepat degradasi ekosistem.
Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa alam adalah ayat-ayat kauniyah yang wajib dihormati, tanda kebesaran Allah yang hidup di sekitar manusia. Karena itu, ukuran kesalehan sejati tidak hanya terletak pada kerajinan beribadah, tetapi juga pada sejauh mana seorang muslim menjaga kesucian ciptaan Allah. Dengan menghormati alam, manusia tidak sekadar menunaikan tugas ekologis, tetapi juga melaksanakan ibadah dalam bentuk yang lebih luas—menjaga amanah Ilahi bagi seluruh semesta.
Konsep rahmatan lil ‘ālamīn bukan sekadar jargon teologis, melainkan paradigma integral yang menyatukan ibadah ritual dengan praksis sosial-ekologis. Kata al-‘ālamīn sendiri mencakup seluruh makhluk: manusia, hewan, tumbuhan, hingga kosmos. Implementasinya dapat dilihat pada dua dimensi. Pertama, dimensi spiritual: menjadikan ibadah sebagai energi moral untuk melawan ketidakadilan dan kerusakan. Kedua, dimensi praksis: mewujudkan aksi nyata seperti advokasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat, hingga gerakan masjid hijau yang ramah lingkungan. Dalam kerangka ini, Ismail Raji al-Faruqi menegaskan bahwa tauhid adalah “a worldview that integrates God, man, and nature in a unified system of responsibility.” Tauhid memanggil umat Islam untuk melihat alam sebagai satu kesatuan dengan manusia dan Allah—bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai amanah yang harus dijaga.
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diangkat sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Amanah ini bukanlah legitimasi untuk mengeksploitasi, melainkan tanggung jawab suci untuk memelihara ciptaan Allah. Prinsip khalifah mencakup tiga hal mendasar. Pertama, larangan fasād (kerusakan): “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya” (QS. Al-A‘raf: 56). Kedua, menjaga mīzān (keseimbangan): memastikan keteraturan alam tetap harmonis. Ketiga, ḥisāb (pertanggungjawaban): setiap tindakan terhadap alam akan dimintai perhitungan di hadapan Allah. Dalam pandangan Ali Shariati, manusia sebagai khalifah bukanlah penguasa yang sewenang-wenang, melainkan penanggung amanah (amanah-bearer) yang mengabdi kepada Allah dengan menjaga masyarakat dan alam.
Fenomena keagamaan hari ini kerap memperlihatkan paradoks: kesalehan ritual yang intensif tidak selalu berbanding lurus dengan kesalehan sosial-ekologis. Ada yang berhaji dan berumrah berkali-kali, tetapi abai terhadap kemiskinan di sekitar. Ada pula yang tekun ibadah malam, namun tetap terlibat dalam korupsi atau perusakan alam. Reduksi kesalehan semacam ini melahirkan fragmentasi spiritual: agama berhenti pada simbol identitas, bukan tampil sebagai kekuatan transformatif.
Jawaban atas reduksi kesalehan adalah membangun kesalehan yang utuh—kesalehan integral—yang menyatukan dzikir (kesadaran batin), fikir (analisis rasional), dan ‘amal (aksi nyata). Dengan fondasi ini, seorang muslim yang menunaikan ibadah ritual dengan benar akan terdorong menghadirkan keadilan sosial sekaligus menjaga keberlanjutan ekologis. Ibadah tidak lagi berhenti pada simbol, melainkan bertransformasi menjadi energi moral yang menghidupi kehidupan bersama dan merawat alam semesta.
Kesalehan yang berhenti pada ritual ibarat sajadah yang tak pernah menyentuh realitas sosial maupun ekologis. Shalat, haji, dan umrah memang penting sebagai fondasi spiritual, tetapi semuanya kehilangan makna jika tidak menggerakkan kepedulian kepada sesama dan kepatuhan dalam menjaga alam. Islam rahmatan lil ‘ālamīn menuntut agar ibadah tidak berhenti pada simbol, melainkan bertransformasi menjadi energi moral yang memperjuangkan keadilan sosial sekaligus merawat keseimbangan ekologis. Dengan begitu, sajadah bukan hanya alas ibadah, tetapi titik awal lahirnya kesalehan integral yang menghadirkan rahmat bagi seluruh semesta.
Sebagai khalifah, manusia tidak pernah diberi mandat untuk mengeksploitasi, melainkan menjaga dan memelihara ciptaan Allah. Dari sinilah lahir kesadaran bahwa kesalehan sejati bukanlah kesalehan simbolik yang berhenti pada ritual, melainkan kesalehan integral yang menautkan dzikir, fikir, dan ‘amal. Dengan perspektif ini, sajadah tidak lagi dipahami sekadar sebagai alas ibadah, melainkan titik tolak perubahan sosial-ekologis—ruang spiritual yang melahirkan keberanian moral untuk memperjuangkan keadilan dan merawat alam semesta.
Maka, tantangan utama umat Islam hari ini bukan sekadar memperbanyak ritual, melainkan memastikan setiap ibadah bertransformasi menjadi cahaya moral yang menuntun pada tegaknya keadilan sosial, solidaritas kemanusiaan, dan keberlanjutan ekologi. Hanya dengan jalan itu Islam dapat benar-benar hadir sebagai rahmatan lil ‘ālamīn—rahmat yang hidup bagi seluruh alam.
___________
Penulis merupakan lulusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY) yang telah lama berkecimpung dalam gerakan sosial dan lingkungan di Kalimantan Barat. Ia pernah aktif di WWF-Indonesia selama hampir dua dekade (2000–2018), kemudian menjadi konsultan jangka pendek di berbagai lembaga, dan terakhir bekerja di USAID SEGAR (2021–2025). Saat ini ia tinggal di Pontianak dan terus berkontribusi dalam isu lingkungan hidup serta pembangunan berkelanjutan. Salah satunya, penulis aktif sebagai bagian dari Majelis Lingkungan Hidup, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat.