Kamera Trap: Jendela Hutan Tropis

Penulis: Radiana Sofyan
Cinta Raja, 17 September 2025. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, suara burung masih terdengar menyambut malam. Sesekali suara kelompok Siamang bersahutan dari kejauhan, saat saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Cinta Raja III, sebuah lokasi restorasi yang terletak tepat di tepi Taman Nasional Gunung Leuser di Blok Hutan Muara Alur Sei Serdang, Desa Mekar makmur, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, yang dikelola oleh Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL-OIC) di bawah Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL). Tampak sederhana pondok kayu dan fasilitasnya, tetapi sesungguhnya dibangun dengan pondasi kuat, sebuah misi untuk menghutankan kembali wilayah bekas perambahan untuk kebun sawit menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi berbagai jenis satwa di Taman Nasional Gunung Leuser yang memiliki luas sekitar 1 juta hektar, yang membentang di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Kisah restorasi di Cinta Raja penuh cerita dan dinamika. Dulunya, kawasan ini adalah kebun sawit ilegal yang dikelola masyarakat sebelum tahun 2014, yang kemudian diserahkan ke negara. Pada tahun 2017, BBTNGL melakukan penebangan kebun sawit tersebut seluas sekitar 100 ha. Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit dan perambahan adalah ancaman utama taman nasional ini, yang berdampak pada meningkatnya konflik satwa liar – manusia dan kejahatan satwa liar. Wilayah ini kemudian direstorasi dikembalikan fungsinya dengan melibatkan masyarakat setempat. Kini, hutan kembali tumbuh dengan lebih dari 125 spesies pohon, dan satwa-satwa pun mulai kembali. Apa saja satwa tersebut dan bagaimana mengetahui mereka kembali pulang?
Perkenalkan, saya Radiana Sofyan, 28 tahun, lulusan S1 Kehutanan dari Universitas Syiah Kuala Gayo Lues. Sejak lima tahun terakhir, saya menjadi bagian dari tim Riset Biodiversiti dan Restorasi Ekosistem (BRER) YOSL-OIC sebagai Koordinator Camera Trap. Saya ditugaskan di beberapa kawasan restorasi, termasuk Cinta Raja, Taman Nasional Gunung Leuser.

Setiap bulannya, saya selalu menghabiskan beberapa hari di hutan untuk melakukan survei dan mengambil data dari kamera trap yang terpasang di beberapa titik. Kamera kecil yang menempel di batang pohon ini, disamping sebagai alat kerja, juga menjadi saksi bisu dari kehidupan liar yang jarang terjamah manusia. Saat membuka hasil rekaman, adrenalin saya saya meningkat dan selalu ada rasa deg-degan, penuh dengan keingintahuan: satwa apa saja kali yang melintas? Gajah? Siamang? Harimau? atau mungkin kawanan rusa? Bagi saya, kamera trap adalah jendela hutan tropis. Dari sanalah kita tahu bahwa orangutan masih bergantung di dahan, hingga jejak harimau kadang terekam samar. Setiap foto adalah bukti bahwa kerja restorasi berhasil menghidupkan kembali ekosistem yang dulu nyaris hilang.

Selain bertugas dengan kamera trap, saya juga sering terlibat dalam survei sarang orangutan, analisis vegetasi, dan kegiatan restorasi bersama tim riset dan monitoring biodiversitas. Tidak jarang, saya juga mendampingi tamu, baik dari dalam maupun luar negeri yang ingin melihat langsung bagaimana proses restorasi dan konservasi berjalan. Kadang saya juga berbagi pengalaman melalui materi untuk mahasiswa atau kegiatan umum.
Di Cinta Raja, baru-baru ini, ada yang menarik yaitu keluarga Siamang yang baru saja disoft release pada bulan Juli kemarin, mereka adalah Bejo, Mesra dan anak mereka Boni. Soft-release merupakan tahapan penting sebelum pelepasliaran penuh, di mana satwa menjalani masa habituasi selama beberapa bulan di kandang habituasi. Di tahap ini, Siamang belajar hidup di alam liar, sambil tetap mendapatkan pakan tambahan dari tim. Proses ini memastikan mereka siap secara ekologi dan psikologis sebelum benar-benar dilepas bebas di alam liar. Siamang merupakan primata arboreal yang sangat sosial dan setia pada pasangan hidupnya. Mereka dikenal lewat duet suara khas yang bisa terdengar hingga lebih dari satu kilometer, sebuah “nyanyian” untuk menandai wilayah sekaligus memperkuat ikatan kelompok keluarga. Melalui vokalisasi inilah kami juga bisa mengidentifikasi ada sekitar 2 kelompok Siamang yang ada di sekitar Cinta Raja. Kehadiran mereka, bersama si kecil Boni yang masih lincah belajar bergelayut di dahan, adalah tanda bahwa hutan yang kami rawat kini benar-benar menjadi rumah kembali bagi satwa liar.



Cinta Raja merupakan bukti bahwa luka alam bisa dipulihkan. Restorasi bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi juga membangun kembali hubungan antara manusia dan hutan. Sebagai seorang perempuan muda yang bekerja di jantung hutan Leuser, saya bangga bisa menjadi bagian dari perjalanan ini. Setiap kali kamera trap menangkap kehidupan dan setiap kali saya mendengar nyanyian Siamang di antara rimbunnya pepohonan, saya tahu bahwa hutan ini benar-benar hidup kembali. Dan selama hutan masih bernyanyi, maka masa depan kita pun masih punya harapan.