Narasi Rakyat, Agenda Korporasi: Penunggang Gelap di Kawasan Hutan
Oleh: Dr. Danang Anggoro
Tata kelola hutan di Indonesia menampilkan sejarah baru , negara menunjukkan political will atau kemauan politik yang kuat untuk menindak pelanggaran korporasi atas kawasan hutan. Tidak sekedar kemauan politik, tetapi juga dibarengi kekuatan besar yang mencakup unsur sipil dan militer yang terpadu. Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, telah bergerak dalam dua tahap hingga Juni 2025. Dari target penertiban seluas 3 juta hektare, Satgas PKH telah menjangkau lebih dari 2 juta hektare (tepatnya 2.091.782 hektare) di 21 provinsi dan 172 kabupaten, menyasar 684 perusahaan yang menduduki kawasan hutan produksi (91%) dan hutan konservasi (9%). Ini bukan pekerjaan kecil, ini adalah gebrakan awal dari upaya korektif yang selama ini dinanti.
Di tengah capaian ini, muncul klaim dari beberapa kelompok masyarakat sipil yang menyebut bahwa Satgas PKH lebih menyasar kebun sawit rakyat daripada perusahaan. Tentu, kritik adalah bagian penting dari demokrasi. Namun jika ditelisik lebih dalam, data dari Kejaksaan Agung dan Kementerian Pertahanan justru menunjukkan bahwa fokus penertiban dominan diarahkan ke lahan-lahan yang dikuasai perusahaan. Dari total capaian sementara, 9% telah dikembalikan ke kawasan konservasi (Taman Nasional) untuk dipulihkan menjadi hutan, 40% diserahkan ke BUMN PT Agrinas (Persero) karena masuk dalam wilayah korporasi dan 51% lainnya belum diserahkan. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum diarahkan pada struktur besar, bukan sekadar masyarakat perorangan.
Namun di sinilah persoalan menjadi lebih kompleks. Di lapangan, Geopix menemukan bagaimana masyarakat kerap dijadikan tameng oleh para penunggang gelap. Narasi-narasi populis dibentuk untuk menggiring opini publik seolah-olah penertiban ini menyasar rakyat kecil, padahal banyak dari kebun-kebun tersebut beroperasi di bawah kendali atau afiliasi korporasi.
Korporasi-korporasi ini, dengan kuasa modal dan politik, menyembunyikan kepemilikannya di balik nama-nama lokal, lalu menggunakan resistensi masyarakat sebagai pelindung dari jerat hukum. Ironisnya, sebagian masyarakat justru dimobilisasi untuk melawan kebijakan yang sebenarnya bisa mengembalikan hak mereka atas ruang hidup yang lestari.
Ini bukan soal menolak sawit, tapi tentang keadilan atas ruang hidup. Sawit memang bisa memberikan penghasilan, tapi hutan adalah jaminan keberlanjutan hidup semua entitas. Ketika hutan dikorbankan, kerugian ekologis, sosial, dan budaya tidak hanya ditanggung oleh negara, tapi terutama oleh masyarakat lokal sendiri. Sayangnya, banyak dari mereka tak pernah diberi pilihan yang adil. Mereka didorong ke dalam sistem ekonomi ekstraktif kapitalistik yang dikendalikan korporasi, lalu diklaim sebagai pemilik suara. Dalam logika ini, petani atau masyarakat bukan hanya sekedar korban, tetapi juga korban yang dimanfaatkan.
Maka, saat negara mulai bergerak untuk menertibkan kawasan hutan termasuk menindak perusahaan yang selama ini tak tersentuh, langkah ini harus dijaga, bukan dilemahkan oleh narasi yang dibangun tanpa dasar data yang kokoh. Kita tidak bisa membiarkan hutan terus dirusak dan dirampas atas nama rakyat, padahal yang diuntungkan adalah segelintir elite ekonomi yang mengendalikan semuanya dengan bersembunyi dibalik narasi-narasi populis. Penegakan hukum atas kawasan hutan adalah pijakan awal menuju keadilan ekologis sekaligus keadilan sosial . Jika ada yang harus digugat, bukan upaya negara menata kembali ruang, melainkan sistem yang selama ini membuat masyarakat hanya menjadi perisai dari keserakahan. Ini saatnya kita bersuara dan berpihak pada hutan dan momentum inilah yang kita nanti bersama sebagai organisasi masyarakat sipil untuk menuntaskan masalah carut marutnya industri sawit di Indonesia.



