AnimalEnvironment

Habitat Gajah Sumatera di Bentang Alam Bukit Tigapuluh Rusak, Jumlah Populasi Tak Sampai 130 Individu

Jumlah populasi Gajah Sumatera di Bentang Alam Bukit Tigapuluh, Jambi, saat ini tercatat tidak sampai 130 individu. Menurut IUCN, spesies kharismatik Indonesia ini masuk kategori critically endangered. 

 

Diskusi publik bertajuk “Upaya Penyelamatan Gajah Sumatera di Bentang Alam Bukit Tigapuluh” di Jakarta, Senin (16/6/2025), mengungkap kondisi kritis populasi Gajah Sumatera akibat degradasi habitat, perambahan, konflik manusia-satwa liar, serta lemahnya implementasi komitmen konservasi oleh korporasi pemegang konsesi hutan.

 

Data dari Kementerian Kehutanan Dirjen Penegakan Hukum menyebut Bentang Alam Bukit Tigapuluh (BABT) di Provinsi Jambi adalah habitat penting bagi kurang lebih 96-129 individu Gajah Sumatera. Namun ironisnya, 70% kantong populasi gajah di Sumatera justru berada di luar kawasan konservasi. Diskusi ini menyoroti peran besar korporasi seperti PT Lestari Asri Jaya (LAJ), PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT), dan PT Wirakarya Sakti (WKS), termasuk izin-izin konsesi Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang beroperasi di dalam Bentang Alam Bukit Tigapuluh.

 

Laporan investigatif yang dipaparkan oleh Geopix menyingkap fakta bahwa areal Wildlife Conservation Area (WCA) yang semula dijanjikan untuk konservasi PT LAJ, anak perusahaan Michelin Group, menyusut drastis dari 9.700 hektar menjadi hanya tersisa sekitar 1.723 hektar. Justru sebaliknya, terjadi perambahan 700 kepala keluarga, serta pemasangan pagar listrik non-standar yang terbukti telah menewaskan gajah betina bernama Umi pada 2024.

 

“Waktunya sudah mendesak bagi perlindungan gajah Sumatera di Bentang Alam Bukit Tigapuluh, kami mendesak Michelin untuk segera bertindak dengan membongkar pagar listrik yang menjadi ancaman langsung dan mengembalikan fungsi konservasi WCA sebagai 

koridor habitat yang paling penting di Bentang Alam Bukit Tigapuluh,” ujar Senior Wildlife Campaigner Geopix, Annisa Rahmawati dalam diskusi tersebut.

 

Pembukaan hutan dengan tujuan pemanfaatan ruang memang tidak dapat sepenuhnya dihindari. Namun, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai, yaitu kurangnya pemahaman masyarakat atas fungsi ruang yang membuka ruang perambahan dan perburuan liar, degradasi lahan, dan pemanfaatan lahan untuk kepentingan ekonomi semata. Posisi konsesi perusahaan yang berada di wilayah BABT membahayakan habitat gajah karena berbatasan dengan koridor pergerakan mereka. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk menjaga gajah dan habitatnya di BABT bukan semata tanggung jawab pemerintah dan lembaga konservasi, tetapi masyarakat setempat dan korporasi yang konsesinya berdekatan dengan kawasan yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi wajib ikut serta melestarikan habitat gajah ini.

 

“Butir 1 dan 2 Inpres No.1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati, menetapkan agar pemerintah memasukkan kewajiban pelestarian keanekaragaman hayati dan ruang ekologis dalam kebijakan sektor. Oleh karena itu, setiap pelaku usaha yang memperoleh izin di sektor kehutanan juga wajib berperan dalam menjaga keanekaragaman hayati. Regulasi ini sejalan dengan SE Dirjen PHL No. SE.7/PHL/2022 tentang Perlindungan Satwa di Konsesi, dimana pemegang konsesi PBPH wajib untuk melindungi dan melestarikan satwa dilindungi serta memastikan ruang gerak atau ruang jelajah satwa dilindungi,” ujar Juru Kampanye Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi dalam kesempatan yang sama.

 

Temuan Satya Bumi menunjukkan, alih-alih melakukan perlindungan satwa dan ruang gerak ekologisnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2020 – 2024) perusahaan di wilayah BABT justru masih melakukan deforestasi, termasuk PT LAJ. Deforestasi terbesar PT LAJ terjadi pada tahun 2023 sehingga hanya menyisakan 2.265 ha hutan pada tahun 2024 di bawah konsesi perusahaan. Praktik deforestasi yang dilakukan PT LAJ akan berdampak signifikan terhadap habitat Gajah Sumatera, mengingat WCA yang ditetapkan Grup Michelin berperan penting dalam keberlangsungan Gajah Sumatera di Bentang Alam Bukit Tigapuluh.

 

Penyempitan area habitat Gajah Sumatera tidak hanya disebabkan oleh alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur seperti karet, tapi juga pembatasan wilayah melalui pemagaran listrik. Pagar listrik yang menyetrum gajah telah mematikan beberapa individu yang melintas. Saat gajah menemukan pondok atau jerat di koridor pergerakan mereka, maka mereka akan mencari jalur lain dan masuk ke pemukiman warga, hal ini memicu konflik antara gajah dan manusia. 

 

Hingga saat ini, belum dapat dipastikan siapa yang memasang pagar listrik di habitat Gajah Sumatera. Menurut Praktisi Konservasi dan Sosial, Syafrizaldi Jpang, konflik gajah dan manusia adalah masalah kompleks yang melibatkan banyak pihak, baik perusahaan maupun masyarakat. 

 

Hal ini sejalan dengan temuan lapangan Kementerian Kehutanan bahwa permasalahan di kawasan (konservasi) adalah permasalahan sosial. “Permasalahan yang berkaitan dengan kawasan itu berkaitan dengan konflik sosial, dimana- mana Sumatera dan Kalimantan”, ujar Polhut Ahli Utama Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan, Sustyo Iriyono.

 

Sustyo menunjukkan data terjadinya lonjakan perambahan dan pemasangan pagar listrik ilegal di kawasan ini, yang mengakibatkan pergeseran habitat gajah ke Areal Penggunaan Lain (APL), makin meningkatkan risiko konflik dengan masyarakat. Konflik tersebut bahkan memakan korban jiwa, baik di pihak manusia maupun gajah.

 

Perwakilan  Staf Direktorat Konservasi Spesies dan Genetik Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup Andie Martin juga menegaskan pentingnya implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) dalam pengelolaan kawasan ekosistem esensial seperti BABT, dimana ada payung hukum. UU No. 32 Tahun 2024 memberi landasan hukum kuat agar pemegang izin PBPH wajib menjaga integritas ekosistem secara utuh.

 

”Kita perlu melakukan konservasi lintas batas untuk menyelesaikan kerusakan ekosistem. Manusia dan satwa liar sama-sama penting, harus diselamatkan manusianya, dan satwanya juga harus selamat,” ujarnya.

 

Masalah kerusakan habitat Gajah Sumatera harus menjadi urgensi bersama mengingat statusnya yang hampir punah dan perannya sebagai penjaga hutan amat penting dalam keberlangsungan ekosistem. Berikut rekomendasi untuk memastikan perbaikan habitat Gajah Sumatera di Bentang Alam Bukit Tiga Puluh:

  • Pembongkaran pagar listrik ilegal yang membahayakan Gajah Sumatera dan dapat menambah panjang konflik gajah dan manusia;
  • Pemberian sanksi tegas terhadap pelaku perambahan dan pelaku pemasangan pagar listrik ilegal di koridor pergerakan Gajah Sumatera; 
  • Investigasi independen oleh otoritas lingkungan hidup nasional dan organisasi internasional terhadap Grup Michelin terkait klaim keberlanjutan mereka;
  • Konservasi lintas batas, agenda konservasi yang disepakati bersama oleh berbagai pihak dari berbagai latar belakang, baik masyarakat, pemangku kebijakan, hingga perusahaan;
  • Melakukan sosialisasi dan penyadartahuan kepada masyarakat terkait WCA, habitat Gajah Sumatera dan upaya konservasinya 
  • Pendekatan kolaboratif dengan masyarakat yang tinggal di WCA untuk relokasi ke area alternatif dengan insentif yang adil;
  • Percepatan program restorasi kawasan hingga 3.000 ha;
  • Pembentukan regulasi yang dapat mengawasi dan memperketat klaim keberlanjutan, serta memaksa perusahaan menunjukkan bukti implementasi.

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button