Gajah, Harga Diri Bangsa yang Diinjak

Oleh: Annisa Rahmawati, Co-Director/Senior Wildlife Campaigner Geopix
Jakarta, 12 Agustus 2025. Di banyak budaya di dunia, gajah memiliki privilege atau keistimewaan dalam struktur masyarakat. Mereka adalah simbol kebijaksanaan, kekuatan, kesetiaan, dan keberuntungan. Dalam mitologi Hindu, Dewa Ganesha, dewa berkepala gajah, dihormati sebagai pembawa pengetahuan, pelindung dari rintangan, dan pengawal harmoni. Namun ironisnya, di negeri yang masih menyimpan habitat gajah liar, makhluk megah ini justru menghadapi ancaman yang kian nyata.

Sejak 2011, Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) telah berstatus kritis (critically endangered) menurut IUCN, hanya satu langkah dari kepunahan di alam. Dan pada 2024, kabar pahit datang dari Kalimantan Utara, Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) resmi masuk kategori terancam (endangered). Dua subspesies gajah Asia ini adalah “saudara” yang berbagi nasib: terhimpit oleh hilangnya habitat, terjerat konflik dengan manusia, dan terancam oleh infrastruktur yang tak ramah satwa.
Konflik manusia-gajah bukanlah kisah baru. Ia sudah berpuluh tahun menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Tahun 1982, pemerintah menggelar Operasi Ganesha, pemindahan besar-besaran ratusan gajah dari habitat alaminya ke kantong-kantong konservasi seperti Taman Nasional Way Kambas. Alasannya: gajah dianggap mengganggu program transmigrasi. Operasi ini memang menyelesaikan “masalah” jangka pendek, tetapi juga mengubah perilaku gajah, memecah habitatnya, dan meninggalkan warisan konflik yang belum selesai hingga kini.
Empat dekade kemudian, konflik justru semakin sering terdengar, seiring dengan penggundulan, alih fungsi hutan dan perambahan. Media sosial membuatnya lebih terlihat, tapi itu juga berarti satu hal: ancaman terhadap gajah belum mereda. Saat ini diperkirakan terdapat 22 kantong populasi gajah sumatera di seluruh Sumatera dengan populasi sekitar 1.100 individu
Tiga bulan yang lalu, tepatnya bulan Mei. Geopix meluncurkan laporan tentang situasi terkini di Bentang Alam Bukit Tigapuluh terkait Janji Karet Michelin. Laporan ini mengungkap areal konservasi perusahaan yang disebut dengan Wildlife Conservation Area yang di dalamnya terdapat pagar listrik di 46 titik yang diperkirakan memiliki panjang sekitar 46,6 km, dari keseluruhan pagar listrik sepanjang 77 km yang ada di seluruh konsesi PT Lestari Asri Jaya (LAJ), anak perusahaan Michelin.

Bentang Alam Bukit Tigapuluh di Jambi saat ini tengah menghadapi ancaman serius dari pagar listrik ilegal, perambahan, perburuan, dan deforestasi yang terkait dengan konsesi karet Michelin melalui PT Lestari Asri Jaya (LAJ). Meski Michelin berjanji melindungi 9.700 hektare sebagai Wildlife Conservation Area (WCA), temuan Geopix mengungkap kenyataan sebaliknya: hanya sekitar 1.723 hektare habitat yang masih layak, ditengah maraknya permukiman ilegal, kebun karet monokultur, serta 44 titik pagar listrik non-standar sepanjang 46,6 km yang membahayakan dan menghalangi pergerakan gajah Sumatera. Pagar listrik tersebut berpotensi melukai bahkan membunuh gajah, termasuk satwa-satwa liar lainnya. Alih-alih membongkar dan memulihkan fungsi areal konservasinya, pihak Michelin justru melempar tanggung jawab kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat . Hingga detik ini, tidak ada target jelas untuk pembongkaran pagar listrik berbahaya tersebut, sebuah kelalaian yang berisiko mengubah areal konservasi di PT LAJ menjadi museum kematian gajah sumatera, termasuk harimau sumatera.

Hari Gajah Sedunia, yang jatuh setiap 12 Agustus, seharusnya menjadi momentum renungan. Bukan sekadar foto manis di media sosial, melainkan pengingat keras: jika kita tak bertindak cepat, gajah: simbol kebijaksanaan yang diabadikan dalam sosok Ganesha, akan lenyap dari alam liar, hanya tersisa dalam cerita, patung, dan diorama museum.
Jika Gajah adalah harga diri bangsa, maka pertanyaannya: apakah kita rela melihat harga diri itu jatuh, terancam, kritis atau bahkan hilang selamanya?