Etologi, Warisan Jane Goodall, dan Tantangan Konservasi Primata Global

oleh: M. Hermayani Putera
Di tengah duka atas kepergian Dr. Jane Goodall, dunia kembali diingatkan akan pentingnya etologi—ilmu yang mempelajari perilaku hewan dalam konteks alami mereka. Etologi berasal dari kata Yunani ethos (kebiasaan) dan logos (ilmu), dan kini berkembang sebagai bidang yang menjembatani biologi, psikologi, dan ekologi perilaku. Sejak abad ke-20, para pelopornya seperti Konrad Lorenz, Karl von Frisch, dan Niko Tinbergen—yang bersama-sama menerima Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada 1973—telah membangun dasar ilmiah bagi studi perilaku hewan di alam liar.
Jane Goodall kemudian memperluas horizon etologi dengan membuktikan bahwa metode observasi lapangan jangka panjang bisa mengubah cara kita memahami hewan dan manusia. Melalui riset di Taman Nasional Gombe Stream sejak 1960, Goodall menunjukkan bahwa simpanse menggunakan alat, berperilaku sosial kompleks, bahkan memiliki bentuk empatidan ritual. Temuan ini mengguncang paradigma biologi yang kala itu masih menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk “berbudaya”.

Etologi menjadi penting bukan hanya karena memberi data ilmiah, tetapi karena membuka ruang empati. Niko Tinbergen dalam kerangka empat pertanyaannya—tentang penyebab(causation), perkembangan (ontogeny), fungsi (function), dan evolusi (phylogeny) perilaku—menegaskan bahwa memahami perilaku hewan adalah memahami sistem kehidupan itu sendiri. Dalam konteks kini, etologi membantu membaca dampak perubahan iklim, hilangnya habitat, dan stres ekologis terhadap perilaku spesies.
Namun, di tengah krisis konservasi global, tantangan bagi etologi kian kompleks. Habitat primata besar seperti simpanse di Afrika, gorila di Rwanda, serta orangutan di Kalimantan dan Sumatra terus terdesak oleh ekspansi perkebunan sawit, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur. Tekanan terhadap hutan berarti pula tekanan terhadap sumber data etologis, sebab perilaku hewan tak dapat sepenuhnya dipahami di luar ekosistemnya. Hutan yang hilang adalah hilangnya arsip perilaku alami yang tak tergantikan.

Di sinilah warisan Goodall menemukan relevansi baru. Ia bukan hanya ilmuwan, tetapi juga aktivis yang menjembatani sains dengan advokasi melalui Jane Goodall Institute (JGI) dan gerakan Roots & Shoots—program pendidikan global yang menumbuhkan kepedulian anak muda terhadap hewan, manusia, dan lingkungan. “You cannot get through a single day without having an impact on the world around you…” katanya, mengingatkan bahwa penelitian ilmiah mesti terhubung dengan pilihan moral.
Etologi kontemporer kini berkembang ke arah yang lebih interdisipliner. Muncul bidang neuroetologi, yang mempelajari dasar saraf dari perilaku hewan; etologi kognitif, yang meneliti kesadaran dan pembelajaran; hingga etologi digital, yang menggunakan AI tracking dan machine learning untuk menganalisis pola perilaku hewan di alam liar.
Pendekatan-pendekatan baru ini memperkuat warisan Goodall dalam konteks teknologi modern membuka kemungkinan baru dalam pemantauan populasi satwa dan perlindungan ekosistem.
Frans de Waal, primatolog Belanda, memperluas cakrawala ini dengan riset tentang moralitas dan empati hewan sosial. Ia menulis, “The study of animals helps us to understand the roots of our own morality.” Dalam pandangan ini, etologi bukan sekadar sains perilaku, melainkan jembatan untuk memahami kemanusiaan kita sendiri.
Di sisi lain, Biruté Mary Galdikas—sahabat Goodall sekaligus anggota Trimates menegaskan, “To understand orangutans is to understand the rainforest. And to save them is to save ourselves.” Pernyataan ini menegaskan keterkaitan mendalam antara riset ilmiah, upaya konservasi, dan keberlanjutan planet. Ia mengingatkan kita bahwa setiap tindakan untuk melindungi satwa liar dan habitatnya bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan juga kewajiban ekologis global demi keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam konteks itu, etologi harus tetap menjadi ilmu yang integratif dan humanis. Ia tidak hanya mempelajari perilaku hewan , tetapi juga mengajarkan kita mendengar kembali bahasa Alam —sebuah kemampuan yang semakin hilang di tengah percepatan pembangunan. Melibatkan masyarakat adat, menghargai kearifan lokal, serta menghubungkan sains dengan kebijakan publik adalah langkah yang perlu ditempuh agar konservasi tak hanya menjadi jargon, tetapi menjadi jalan hidup bersama.

Warisan Jane Goodall menjadi cermin bahwa etologi bukanlah ilmu masa lalu, melainkan bekal bagi masa depan. Ia mengajarkan bahwa memahami satwa berarti juga memahami diri sendiri. Di tengah krisis iklim dan merosotnya keanekaragaman hayati, etologi memberi kita satu pelajaran abadi bahwa masa depan manusia hanya akan kuat jika hubungan kita dengan alam dan seluruh makhluk yang hidup di dalamnya juga kuat, karena disanalah sejatinya kita belajar tentang empati, keseimbangan, dan cara menjadi manusia yang utuh.
__________
Penulis merupakan lulusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY) yang telah lama berkecimpung dalam gerakan sosial dan lingkungan di Kalimantan Barat. Ia pernah aktif di WWF-Indonesia selama hampir dua dekade (2000–2018), kemudian menjadi konsultan jangka pendek di berbagai lembaga, dan terakhir bekerja di USAID SEGAR (2021–2025). Saat ini ia tinggal di Pontianak dan terus berkontribusi dalam isu lingkungan hidup serta pembangunan berkelanjutan. Salah satunya, penulis aktif sebagai bagian dari Majelis Lingkungan Hidup, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat.