Panggilan dari Rimba: Kisah drh. Imam Arifin

Oleh: Umi S. Zakiya
Yogyakarta, 21 Oktober 2025. Sore itu, selepas sesi Dating APES, kelas bulanan yang diselenggarakan oleh Orangufriends Yogyakarta dan Center for Orangutan Protection (COP), suasana ruang diskusi masih terasa hangat. Beberapa peserta terlihat berkerumun, menyalami dan berbincang dengan salah satu pembicara yang baru saja menuntaskan materinya: drh. Imam, Koordinator Medis Yayasan IAR Indonesia (YIARI). Saya beruntung menjadi salah satu yang mendapat kesempatan berbincang lebih jauh dengannya.

Saat sebagian dokter hewan mungkin memilih jalur pekerjaan yang lebih menjanjikan kemapanan , seperti mendirikan atau bekerja di rumah sakit hewan, atau bahkan membuka praktik sendiri, seorang drh. Imam, yang biasa disapa ‘mas Imam’ justru memilih arah yang berbeda, yaitu berada di tengah rimba sunyi, keras, dan penuh tantangan. Beliau memilih menjadi seorang penyelamat satwa liar. Saat saya tanya alasannya, jawabannya sederhana, “karena suka”. Tetapi sungguh dalam jawaban singkat tersebut terekam perjalanan panjang tentang bagaimana sebentuk cinta yang luar biasa pada satwa liar dapat menjadi panggilan hidupnya.
Sejak duduk di bangku kuliah, drh. Imam merasa asyik saja saat belajar mata kuliah tentang satwa liar. “Kalau kuliahnya tentang satwa liar, saya nggak pernah ngantuk,” ujarnya sambil tertawa. Dari sana ia mulai menemukan passion sejatinya. Lalu ketika berkesempatan turun langsung ke lapangan, mas Imam menyadari bahwa dunia konservasi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Pengalaman pertamanya di Kalimantan bersama Center for Orangutan Protection (COP) menjadi titik balik dalam hidupnya. “Waktu itu saya lihat sendiri hutan-hutan yang menjadi habitat orangutan sudah berubah jadi kebun sawit. Ada buldoser di bawah pohon tempat orang utan bersarang yang siap menggusur sarang-sarang orangutan tersebut”.
Menurut dokter hewan lulusan UGM ini, konservasi merupakan bidang yang relatif kompleks. “Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, karena mereka kurang dalam pengetahuan tentang ekologi. Padahal setiap makhluk memiliki peran yang sama pentingnya dalam ekosistem. Jika salah satu hilang, maka seluruh ekosistem goyah,” jelasnya. Ia percaya bahwa tugas utama para konservasionis tidak hanya untuk menyelamatkan satwa, melainkan juga membangun kesadaran publik. Sayangnya, masih banyak orang yang bahkan tidak tahu di mana kukang hidup, berapa jenis orangutan yang ada di dunia, atau mengapa satwa tertentu dilindungi.

Sebagai Koordinator Medis di Yayasan IAR Indonesia (YIARI), mas Imam kini berfokus pada penyelamatan kukang, primata kecil bermata besar yang lucu. Banyak orang menganggap kukang lucu dan berkeinginan memeliharanya, padahal satwa ini memiliki peran yang sangat penting secara ekologis di hutan. “Mereka itu pollinator alami. Mereka makan serangga, getah pohon dan membantu regenerasi hutan. Kalau kukang hilang, akan ada rantai ekologi yang rusak,” jelasnya. Selain itu, ia menyoroti risiko kesehatan dari perdagangan satwa liar, terutama Kukang. “Sekitar 70% penyakit menular ke manusia berasal dari hewan liar yang disebut zoonosis. Jadi kalau kita terus mengambil mereka dari alam, itu berarti kita sedang membuka pintu pandemi baru,” tambahnya.


Bagi mas Imam, momen yang paling membahagiakan dalam pekerjaannya adalah ketika kukang yang dulu dirawat dalam kondisi lemah akhirnya bisa kembali ke alam. “Yang paling menyenangkan itu ketika mereka sudah pulih, dilepas, dan kita tahu mereka bisa bertahan di hutan. Itu rasanya luar biasa,” ujarnya sembari tersenyum. Namun, perjalanan ini tidak selalu penuh kemenangan. Ia masih ingat betul saat kukang yang dirawat selama rehabilitasi harus dimangsa predatornya di malam pertama pelepasliaran. “Sedih, tapi itu juga pelajaran. Di alam, semua proses berjalan alami. Kita belajar untuk terus memperbaiki cara dan membuat keputusan cepat,” katanya reflektif.
Di bawah koordinasinya, YIARI telah mencatat berbagai inovasi medis dalam rehabilitasi kukang, bahkan beberapa di antaranya menjadi yang pertama di dunia. Bagi mas Imam, keberhasilan bukan hanya diukur dari jumlah satwa yang diselamatkan, tapi juga dari pemahaman yang semakin dalam tentang bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan alam.

Sebelum menutup obrolan kami, mas Imam menyampaikan pesan sederhana untuk generasi muda dan para pengguna media sosial: “Cari tahu dulu. Dari rasa ingin tahu, nanti muncul kepedulian. Kalau nggak tahu, nggak akan bisa peduli.” Ia mengajak masyarakat untuk mulai mengenal satwa liar dari rasa ingin tahu, bukan dari keinginan untuk memeliharanya. “Tunjukkan kepedulianmu dengan tidak memelihara satwa liar. Itu langkah kecil yang berarti besar,” pesannya.
Di tengah dunia yang semakin bising oleh kepentingan ekonomi dan eksploitasi alam, semoga kisah mas Imam menjadi inspirasi kita bahwa cinta sejati pada alam dimulai dari rasa ingin tahu dan keberanian untuk peduli. Jadi, kalau kamu belum tahu di mana kukang hidup di Indonesia, mungkin seperti kata drh. Imam, sudah saatnya kita mulai dari cari tahu dulu.