Kalbar, Melting Pot Sejak Abad ke-18: Dari Republik Lanfang, Tambang Emas Mandor, hingga Jejak di Singapura Modern

Oleh: M. Hermayani Putera
Pontianak, 23 Agustus 2025. Berbicara tentang Kalimantan Barat (Kalbar) saat ini, banyak orang langsung membayangkan Pontianak sebagai kota seribu parit atau Singkawang yang dijuluki kota seribu kelenteng. Namun, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tanah Kalbar telah menjadi sebuah melting pot—tempat bertemunya orang dari berbagai penjuru dunia—lengkap dengan drama politik, ekonomi, dan relasi kuasa yang kompleks.
Pada abad ke-18, di pedalaman Mandor (kini bagian dari Kabupaten Landak, Kalimantan Barat), lahir sebuah entitas politik unik: Republik Lanfang. Bukan kerajaan, bukan pula koloni Eropa, melainkan sebuah “republik” yang didirikan pada 1777 oleh perantau Hakka dari Meixian, Guangdong, dipimpin oleh Luo Fangbo (atau Low Lan Pak dalam dialek Hakka lama).

Bentuk pemerintahannya menarik: seorang “presiden” dipilih oleh komunitas, keputusan penting dibahas secara kolektif oleh dewan pusat, dan seluruh sistemnya berbasis solidaritas komunitas Hakka. Pada masanya, Lanfang merupakan sebuah anomali. Ia berdiri di tengah wilayah kekuasaan kesultanan Melayu seperti Sambas, Mempawah, dan Landak. Hubungan mereka tidak selalu harmonis: kadang akur dan saling menguntungkan, kadang bersaing memperebutkan jalur dagang atau tambang emas di Mandor.
Pada masa itu, tambang bukan sekadar urusan cangkul dan dulang. Menguasai tambang berarti menguasai tenaga kerja, aliran perdagangan, dan posisi tawar di hadapan pihak luar—termasuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Di Kalbar, peta kekuasaan ditentukan oleh tiga aktor utama: kerajaan-kerajaan Melayu, kongsi tambang Tionghoa, dan kepentingan Belanda. VOC, dan kemudian pemerintah kolonial, lihai memainkan politik pecah belah: mendukung satu pihak, menekan pihak lain, lalu masuk sebagai penengah dengan syarat tertentu. Tambang emas Mandor menjadi rebutan, bukan hanya karena nilai ekonominya, tetapi juga karena posisinya sebagai simpul perdagangan dan pengaruh politik.
Memasuki abad ke-19, Belanda mulai memandang Republik Lanfang sebagai ancaman nyata. Selain kaya sumber daya, Lanfang memiliki sistem pemerintahan kolektif yang membuatnya tangguh menghadapi tekanan eksternal. Bagi Belanda, sebuah republik mandiri di pedalaman Kalbar adalah sesuatu yang tidak bisa dibiarkan.
Tahun demi tahun, kolonial Belanda memperkuat cengkeramannya. Melalui kombinasi diplomasi, tekanan militer, dan politik adu domba, Belanda perlahan melemahkan posisi Lanfang. Hingga akhirnya, pada 1884, Republik Lanfang resmi dibubarkan dan Mandor kemudian masuk ke dalam administrasi kolonial Hindia Belanda. Dengan demikian, berakhir sudah lebih dari satu abad eksistensi republik unik berbasis solidaritas Hakka.

Namun, bubarnya Lanfang tidak berarti berakhirnya pengaruhnya. Banyak warga Hakka di Kalbar memilih bermigrasi ke Semenanjung Malaya dan Singapura. Mereka membawa keterampilan bertambang, etos kerja kolektif, serta tradisi berorganisasi ala kongsi.
Di Singapura, diaspora Hakka berperan penting dalam dunia usaha, pendidikan, hingga politik. Dari kelompok ini lahir tokoh-tokoh perintis yang berkontribusi membentuk wajah Singapura modern: kosmopolitan, multietnis, dengan akar kuat pada etos dagang dan pengelolaan sumber daya. Jejak Republik Lanfang dari Mandor, dengan demikian, beresonansi jauh melintasi Selat Malaka.
Kalbar hari ini tetap menyandang identitas sebagai melting pot. Melayu, Dayak, Tionghoa (Hakka, Teochew, Kanton), Bugis, Jawa, Madura, dan etnis lainnya hidup berdampingan dengan segala dinamika yang menyertainya. Lanskap sosial ini terbentuk dari sejarah panjang interaksi perdagangan, migrasi, dan perebutan sumber daya.
Namun, sebagaimana pada masa lalu, tambang masih menjadi magnet utama. Bedanya, kini persoalan tambang tidak hanya terkait emas di Mandor, tetapi juga bauksit, zirkon, hingga mineral kritis yang menjadi incaran pasar global karena menjadi bahan dasar industri strategis seperti semikonduktor, energi, dan pertahanan. Pertanyaannya: apakah pengelolaan sumber daya tambang hari ini akan kembali mengulang pola eksploitatif masa lalu, atau justru menjadi jalan baru bagi pembangunan yang berkeadilan?
Kisah Republik Lanfang mengingatkan kita bahwa penguasaan tambang selalu berkaitan dengan penguasaan manusia dan relasi kuasa. Lanfang bertahan lebih dari satu abad karena dikelola secara kolektif dengan prinsip kebersamaan. Namun, ketika kekuatan eksternal masuk dan permainan politik kian rumit, republik kecil itu akhirnya runtuh.

Dari Kalbar kita belajar, melting pot dapat menjadi kekuatan bila dikelola dengan adil. Tetapi, ia juga bisa menjadi titik rapuh bila ketimpangan sosial dan eksploitasi sumber daya tidak ditangani.
Kalbar tidak hanya menyimpan sejarah, tetapi juga cermin bagi masa depan. Di tengah derasnya arus investasi tambang, kita perlu menengok kembali Mandor: tanah yang pernah melahirkan sebuah republik unik berbasis solidaritas.
Pengelolaan sumber daya alam seharusnya tidak lagi sekadar rebutan, melainkan ruang kolaborasi. Pemerintah, masyarakat adat, diaspora, akademisi, dan pelaku usaha perlu duduk bersama. Sebab, hanya dengan kolaborasi lintas pihak, Kalbar dapat menghindari jebakan kolonialisme gaya baru sekaligus mewujudkan pembangunan yang adil bagi semua anak bangsa.
_________
Penulis merupakan lulusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY) yang telah lama berkecimpung dalam gerakan sosial dan lingkungan di Kalimantan Barat. Ia pernah aktif di WWF-Indonesia selama hampir dua dekade (2000–2018), kemudian menjadi konsultan jangka pendek di berbagai lembaga, dan terakhir bekerja di USAID SEGAR (2021–2025). Saat ini ia tinggal di Pontianak dan terus berkontribusi dalam isu lingkungan hidup serta pembangunan berkelanjutan.