My Intimate Saturday with Novi: Catatan Perjalanan Kesaksian untuk Pengungsi Tesso Nilo
Oleh: Annisa Rahmawati
Senior Wildlife Campaigner, Geopix
Sabtu pagi itu, saya dan tim Geopix memulai perjalanan dari Jakarta menuju Pekanbaru, membawa semangat yang ganjil: bayangan akan beratnya akan menjumpai sebentuk realitas kehancuran, namun tetap memburaikan percik-percik harapan. Tujuan kami adalah daerah perbatasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), atau lebih tepatnya ke Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, di sebuah titik lokasi yang berjarak hanya sekitar 20 kilometer dari kawasan Taman Nasional.

Di Gondai, terdapat tiga ekor Gajah Sumatera yang “diangon” yaitu dipelihara dan dijinakkan untuk membantu manusia, bukan di rimba, tetapi di pinggir hutan yang terus terdesak. Mereka bertugas untuk menghalau kawanannya sendiri agar tidak memasuki pemukiman. Ironis, bukan? Bahwa makhluk raksasa yang sejatinya adalah simbol kebebasan dan keteguhan sekaligus jati diri hutan, kini hidup dengan tali kendali di kaki, memediasi antara dunia liar dan peradaban yang telah merampas citra dirinya.
Salah satu dari mereka bernama Novi, pengungsi dan pejuang dari Tesso Nilo.
Tengah hari kami tiba. Setelah memarkir mobil, kami menyeberangi sungai kecil, disambut Pak Daulay dan bertemu tim TNTN yang sedang bertugas. Suasana hening, udara panas dan lembap dari teteduhan beberapa pohon yang menaungi, dan aroma khas dari tubuh satwa besar menyambut kami.
Lalu dari balik rerimbunan pepohonan, muncul sesosok raksasa tua. Kulitnya keriput dan kasar, berwarna abu-abu kusam seperti tembok beton yang telah terlalu lama menahan beban dunia. Ia berjalan perlahan. Novi. Gajah betina berusia 45 tahun. Tujuh tahun lalu ia ditemukan tersesat di pemukiman warga, dan sejak itu, tak pernah lagi kembali ke kehidupan liarnya di belantara.
Novi menghampiri, dan belalainya terulur, menyentuh tangan saya. Kami saling diam, saling meraba rasa. Hanya sepuluh menit, tapi terasa seperti membuka lembaran panjang kehidupan. Ada senyum di matanya: samar, tulus, dan menyayat. Senyum yang menampakkan kehangatan sekaligus luka mendalam. Di balik tatapan itu, saya melihat kisah tentang rumah yang dirampas, hutan yang dilenyapkan, dan keluarganya yang tercerai-berai tanpa ruang untuk menjelajah dan menjaga relasi antar-generasi. Sayatan-sayatan rasa yang begitu perih, tetapi disitulah kami saling menyalurkan energi-energi ketulusan dan menjaga semangat bahwa harapan selalu ada bagi yang berani untuk percaya.

Fakta menyakitkan itu berdiri kokoh di depan saya: 80 persen kawasan Tesso Nilo kini telah menjadi perkebunan sawit. Kebun-kebun itu menyuplai sawit ke kilang-kilang perusahaan sawit terkenal yang produknya hadir setiap hari di meja makan kita, atau diekspor ke luar negeri untuk berbagai macam produk. Sawit yang kita konsumsi diam-diam membawa jejak darah hutan dan air mata gajah.
Namun tahun ini, muncul seberkas harapan. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) diundangkan. Inilah terobosan yang telah lama dinanti. Akhirnya, negara mulai hadir kembali setelah bertahun-tahun membiarkan kehormatan dan kedaulatannya diinjak oleh politisi busuk, oligarki rakus, dan para penunggang gelap yang menjadikan hutan sebagai ladang bisnis.
Tetapi perjalanan belum selesai.
Mencabut segera sawit dari kawasan konservasi adalah langkah pertama. Langkah berikutnya yang tak kalah penting adalah restorasi. Bagaimana tanah yang rusak bisa disuburkan kembali, bagaimana ekosistem yang lumpuh bisa segera dipulihkan.
Dalam perjalanan pulang, kami berdiskusi. Gajah Sumatera seperti Novi menghasilkan sekitar 25 kg kotoran setiap harinya. Bayangkan jika populasi gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo sekitar 35 sampai dengan 151 individu dan jika mereka kembali menjelajah bebas di hutan yang dipulihkan, maka setiap jejak mereka adalah pupuk, setiap kotoran mereka adalah penyebar benih. Mereka adalah arsitek alami ekosistem, forest engineer yang bekerja tanpa pamrih dan tanpa upah. Alam memberi mereka peran; manusia yang telah merampasnya.

Dalam perjalanan, saya dan tim berdiskusi. Gajah seperti Novi menghasilkan 100–150 kg kotoran setiap harinya. Setiap kotoran adalah kombinasi serat alami, biji-bijian, dan pupuk organik murni, penyubur tanah alami yang luar biasa. Tapi apa yang kami temukan mencengangkan sekaligus menyedihkan: saya menemukan plastik dan biji sawit yang masih utuh di salah satu kotoran gajah.
Plastik, sampah buangan manusia, butuh ratusan tahun untuk terurai kini ikut masuk ke dalam tubuh satwa liar. Satu sampah plastik yang dibuang sembarangan bisa mengancam hidup satwa besar seperti gajah. Sekali tertelan, ia bisa menyumbat pencernaan, melukai organ dalam, bahkan mengancam nyawa.

Tesso Nilo merupakan benchmark yang kritis bagi kita semua. Semua mata di seluruh dunia saat ini sedang memantau, dan pemulihan wilayah konservasi harus berhasil, tidak ada pilihan lain. Ini adalah harga diri kita sebagai bangsa. Mari kita bantu kembalikan rumah Novi, kawal penegakan hukum dan upaya restorasinya. Karena di setiap jejak kaki gajah, tersimpan harapan untuk hutan yang hidup kembali.


