AnimalEnvironmentPeople

Cerita tentang Datuk: Jejak Gajah yang Kini Terancam

“Ada Datuk! Ada Datuk!”

Begitulah kira-kira orang lokal memanggilnya. Sebuah seruan yang dulu –bahkan hingga sekarang—masih akrab terdengar di sebagian tanah Sumatra, terutama desa-desa dengan lokasi dekat ataupun berada di tengah rimba. Datuk atau lebih tepatnya Datuk Gedang bukanlah seorang pemimpin manusia, melainkan sosok besar yang melintas di hutan-hutan yang semakin menyempit—Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus). Sayangnya, berdasarkan data dari Auriga Nusantara (2021), sekitar 80 % kantong habitat gajah sumatra berada di luar kawasan konservasi, bahkan populasinya juga terus menurun sepanjang tahun 2021, sejak laporan tersebut diterbitkan. Ini berarti, sebagian besar kehidupan mereka bersinggungan langsung dengan berbgai ancaman dan aktivitas manusia.

Padahal, keberadaan Datuk Gedang bukan hanya soal kelestarian satwa, tetapi juga tentang kebanggaan—bagaimana kita sebagai manusia bisa hidup berdampingan dengan sang Datuk dan memastikan mereka tetap menjadi bagian dari alam kita. Lebih dari sekedar sebutan, nama Datuk Gedang pun memiliki arti sosok bertubuh besar yang dihormati oleh masyarakat. Bahkan, dalam Peraturan Gubernur Jambi No. 8 Tahun 2022, istilah Datuk Gedang diakui sebagai wujud kearifan lokal dalam menyebut penguasa rimba raksasa ini.

***

Kaki besar itu melangkah dengan tenang, tapi setiap pijakannya cukup untuk menekan dedaunan  di sekitar, meninggalkan cekungan yang perlahan dipenuhi air sisa hujan semalam. Seakan tanah harus menahan ukuran tubuhnya yang sangat besar, kira-kira 2000-3000 kg, itupun ukuran betina dewasa. Jantan? Tentu akan lebih besar.  Seringkali, setiap ia melangkah, terdengar suara “ssrrk srrrk”—bunyi dari gesekan telapak kaki dengan dedaunan kering dan ranting-ranting patah. Selain meninggalkan suara di hutan, Datuk Gedang juga meninggalkan jejak yang bisa bertahan berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Bagi tim patroli dan peneliti, jejak ini bagaikan petunjuk yang membantu mereka melacak keberadaan Datuk Gedang di hutan. Menariknya, jika dibiarkan cukup lama, bekas pijakan ini bisa berubah menjadi rumah bagi berbagai makhluk kecil.

Cerita Kehidupan Para Betina yang Menjadi Pemimpin

Seekor gajah betina tua memimpin rombongan kelompok, tubuhnya kokoh namun tak dihiasi sepasang gading panjang seperti gajah jantan. Para individu betina ini biasanya memiliki gading kecil, yang nyaris tersembunyi di balik mulutnya. Gading mungil itu disebut caling, sebuah ciri khas yang membedakan antara individu gajah betina dan jantan.

Kelompok ini terdiri dari berbagai usia, dari muda hingga tua, biasanya masih memiliki hubungan kerabat, baik dekat maupun jauh. Di tengah rombongan gajah yang melintas di hutan, sering kali terlihat sosok-sosok kecil yang setia mengekor di dekat induk atau kerabatnya. Mereka adalah generasi penerus, calon penguasa rimba di masa depan. Meski seringkali masih tertatih-tatih mengikuti ritme kelompok, belalainya yang mungil tak henti-hentinya bergerak, mencoba meraba apa saja yang ada di sekitar—meski lebih sering meleset.

Layaknya manusia, menjadi seorang ibu bagi gajah juga bukanlah hal yang mudah. Individu betina harus mengandung selama 21 hingga 22 bulan—salah satu masa kehamilan terlama di antara semua mamalia darat. Dalam waktu hampir dua tahun itu, ia membawa anaknya ke mana pun ia menjelajah, ke gunung ataupun lembah, menanggung beban yang semakin berat seiring pertumbuhan janin dalam kandungannya.

Untungnya, mereka tidak sendiri. Seperti halnya manusia, gajah hidup dalam kelompok keluarga yang erat. Setelah lahir, anak-anak gajah tidak hanya diasuh oleh ibunya, tetapi juga oleh para betina lain dalam kawanan—mereka yang bisa disebut sebagai “bibi”. Kehadiran para bibi ini begitu berarti, mulai dari melindungi, membimbing, hingga sesekali ikut menyusui jika diperlukan.

Para Jantan yang Mencari Jati Diri

Berbeda dengan betina yang tetap tinggal dalam kelompoknya, gajah jantan yang mulai beranjak dewasa perlahan mulai menjauh dari rombongannya sewaktu kecil. Semakin jauh, jauh, dan mungkin hingga benar-benar menjelajahi wilayah baru. Lagi-lagi punya kemiripan dengan manusia—saat tumbuh besar, anak-anak pun akan meninggalkan rumah untuk menata hidupnya sendiri. Perjalanan ini bukan sekadar petualangan, melainkan bagian dari proses alami yang disebut dispersal. Begitulah para jantan muda, melangkah sendiri di hutan, mencari jalan hidupnya.

Meski demikian, sebagian dari mereka masih berinteraksi dengan kelompok lain. Sesekali bertemu sesama jantan dan berkelana bersama dalam kelompok kecil, atau mendekati kelompok betina saat musim kawin tiba. Namun, berbeda dengan betina yang selalu hidup dalam struktur sosial erat, para jantan memang lebih sering terlihat soliter. Menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menyusuri hutan seorang diri, mencari wilayah baru dengan makanan melimpah, dan tentu bertemu betina yang bukan kerabatnya untuk meneruskan keturunan.

Tetap saja, sesuatu yang baru, biasanya tidak selalu berjalan mulus. Gajah jantan muda yang baru mulai berpindah sering kali menjelajah tanpa arah pasti. Mereka mencoba jalan yang berbeda, mencari tempat yang nyaman, dan mengandalkan insting untuk menemukan sumber makanan. Bahkan dalam beberapa kasus, tak semua eksplorasi berujung baik. Ada kalanya mereka tersesat di daerah yang berisiko tinggi—minim makanan, penuh bahaya. Mereka harus menemukan jalannya sendiri di dunia yang terus berubah dan habitat kian menyempit. Apalagi pulau Sumatra yang menjadi habitat alami Gajah Sumatra, diketahui telah kehilangan hutan hingga 91 ribu hektar sepanjang tahun 2024.

Mereka, Petani Hutan Tanpa Gaji

Gajah-gajah betina bersama rombongannya berjalan beriringan –meski kadang juga tak menutup kemungkinan untuk berpisah menjadi kelompok-kelompok kecil. Sedangkan, gajah jantan yang mulai dewasa mulai untuk menjelajahi hutan sendirian. Sambil terus berjalan di hutan, belalai panjang para gajah bergerak-gerak dengan cekatan,  meraba tanah, menarik ranting, bahkan tak jarang menarik kulit pepohonan. Sembari, mereka memasukan hasil buruannya itu ke dalam mulut untuk menjadi sumber energinya pada hari itu.

Makan sambil jalan, istilah itulah yang mungkin tepat menggambarkan bagaimana mereka makan tiap harinya. Gajah membutuhkan makanan sekitar 5-10 % dari berat tubunya, bisa dibayangkan bukan berapa banyak kebutuhan makan mereka? Ratusan kilogram dedaunan, buah, ataupun materi lain mereka habiskan dalam satu hari. Namun perlu digarisbawahi, apa yang mereka makan tidak semuanya bisa dicerna. Kotoran mereka sering kali masih mengandung serat tumbuhan yang kasar, bahkan biji-bijian utuh yang tidak terpecah di dalam sistem pencernaannya. Yang terlihat sisa, justru menjadi sebuah awal kehidupan baru.

Di antara tumpukan kotoran yang mereka tinggalkan di sepanjang perjalanan, kehidupan kecil tengah bersiap untuk tumbuh. Penelitian yang dilakukan oleh Irvan Adi (2017) menunjukkan bahwa gajah-gajah di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh berperan besar dalam penyebaran berbagai jenis tumbuhan. Gajah Sumatra, tanpa disadari, telah menjadi petani hutan yang tak kenal lelah. Keistimewaan mereka bukan hanya pada jumlah biji yang tersebar, tetapi juga pada jangkauan distribusinya. Berbeda dengan angin atau hewan kecil yang hanya mampu membawa biji dalam jarak terbatas, gajah memiliki mobilitas tinggi. Mereka dapat makan di satu tempat, lalu berjalan puluhan kilometer sebelum akhirnya membuang kotoran mereka di tempat lain.

Bisa dikatakan, gajah adalah petani hutan tanpa gaji. Mereka bekerja tanpa diminta, menanam tanpa harapan imbalan, dan merawat ekosistem tanpa disadari manusia. Namun, ironisnya, mereka justru sering dianggap sebagai perusak ketika memasuki kawasan yang sudah berganti fungsi menjadi kebun, jalan, ataupun pemukiman bagi manusia.

Cerita tentang Datuk bukan hanya kisah masa lalu—ini adalah cerita yang masih berlangsung, tetapi juga terancam berakhir. Sayangnya, seiring waktu, kita lebih sering melihat mereka sebagai gangguan ketimbang penjaga. Bahkan menurut data dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) yang dikutip dari Mongabay, sebanyak 277 kasus interaksi negatif gajah-manusia pada tahun 2019 dan meningkat 275 kasus di tahun 2020. Sepanjang tahun 2021, kasus masih tetap meningkat menjadi 314 kasus. Padahal, kehadiran mereka adalah bukti bahwa kita masih memiliki hutan yang hidup. Jika mereka hilang, apakah kita masih bisa berkata bahwa kita menjaga warisan alam kita?

 

Penulis:

Nabila, perempuan domisili Yogyakarta yang sedang menempuh pendidikan pasca sarjana Fakultas Kehutanan UGM. Sejak 2019, ia juga aktif menjadi penulis lepas di berbagai situs web. Salah satu artikelnya pernah diterbitkan dalam buku Jogja Bawah Tanah (2022). Selain itu, ia juga menulis buku anak, seperti Pohon-Pohon Berkisah (2020) dan Orang Penting dalam Kehidupanku: Tetangga (2021).

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button