Ketika Banteng Menari, Bumi Bernapas Kembali

Oleh: Annisa Rahmawati
Foto: Ken Hardi
Malang, 26 juli 2025. Bantengan bukan sekadar hiburan rakyat. Ia adalah sabda yang menari, ritus yang menggetarkan tanah dan langit, doa yang berwujud gerak dan topeng. Ia hadir bukan hanya untuk banteng, tetapi untuk semua sapi, yang sabar membajak sawah, yang setia menarik pedati, yang memberi susu bagi kehidupan. Juga kerbau, sahabat petani yang tangguh memanggul beban zaman.
Festival Bantengan adalah bentuk rasa syukur. Rasa terima kasih yang ditumpahkan dalam irama, agar para hewan itu tetap sehat, tidak rewel, tidak mudah sakit atau mati. Agar susu mereka melimpah, tenaga mereka kuat, langkah mereka ringan dalam membantu manusia menjaga bumi tetap hidup.

Tahun ini, Bantengan terasa lebih sakral. Ia digelar di bulan Suro, bulan penuh doa dan perenungan, ketika manusia Jawa membuka jalan komunikasi dengan bumi dan segala penghuninya, yang kasat maupun tak kasat mata. Saat ketika sesaji diletakkan di sudut-sudut desa, di bawah pohon tua, di tepi sungai, sebagai tanda hormat pada yang lebih dulu ada. Pada leluhur, pada roh penjaga, pada makhluk yang tak disebut namanya, namun diakui kehadirannya.
Bantengan bukan agenda pariwisata. Ia bukan tontonan musiman. Ia hidup sehari-hari, di sawah, di halaman rumah, di jalan-jalan kecil yang tak terpetakan Google Maps. Dimainkan oleh siapa saja, anak kecil, remaja, orang tua. Tanpa pamrih. Tak peduli apakah ada wisatawan atau tidak, ada dana pemerintah atau hanya iuran dari tetangga. Bantengan berlangsung sebagaimana orang makan, minum, atau bernafas: karena memang harus. Karena kalau tidak, ada yang hilang dari jiwa desa.
Di balik topeng banteng, tersembunyi semangat menjaga harmoni. Keyakinan bahwa bumi ini bukan hanya milik manusia. Bahwa kita hidup berdampingan dengan hewan, tumbuhan, dan makhluk-makhluk halus yang tidak tampak oleh mata, tetapi bisa dirasakan oleh hati yang peka. Bahwa menjaga relasi itu, menjaga keseimbangan semesta, adalah bentuk tertinggi dari peradaban.

Namun sayang, dari kejauhan dari balik jendela kafe-kafe kota, tempat jargon progresif dan kopi single origin dijual bersamaan—para penjaga warisan ini sering dicemooh. Disebut sebagai sumber daya manusia yang rendah, sebagai manusia yang belum “maju”. Mereka dilihat sebagai sisa masa lalu yang harus ditinggalkan.
Padahal, siapa sesungguhnya yang lebih “maju”? Mereka yang menjaga harmoni dengan alam, atau mereka yang hidup terputus dari tanah, dari sejarah, dari suara leluhur?

Bantengan mengingatkan kita bahwa kemajuan tak selalu berarti meninggalkan akar. Bahwa budaya bukan kostum untuk festival, tetapi napas kehidupan. Bahwa tanah yang kita injak pun punya ingatan dan kadang, hanya lewat tarian seperti Bantengan, ia bisa bicara kembali.