Merajut Kembali Janji Indonesia Raya di Persimpangan Sejarah

Oleh: M. Hermayani Putera
Pontianak, 17 Agustus 2025. Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Angka yang seharusnya menandai kedewasaan bangsa sekaligus membuka kenyataan getir: rakyat masih gelisah di tengah ketidakadilan sosial, beban pajak yang menyesakkan, dan krisis lingkungan yang terus mengancam.
Bung Karno pernah mengingatkan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kini, kata-kata itu terasa seperti nubuat. Kita merdeka secara politik, tetapi masih terbelenggu oleh praktik korupsi dan kebijakan yang abai terhadap rakyat kecil. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2024 yang dirilis oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada awal 2025, stagnan pada skor 34 dari 100 (peringkat 115 dunia), menegaskan bahwa korupsi masih menjadi duri tajam yang menghambat kemerdekaan sejati.
Ancaman dari alam pun nyata. Indonesia termasuk negara paling rentan terhadap perubahan iklim menurut Climate Risk Index. Banjir, kebakaran hutan, dan krisis air bersih terjadi setiap tahun. Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, mengingatkan: “Freedom is meaningless if people cannot breathe clean air or drink safe water” — Kemerdekaan tidak berarti bila rakyat tidak dapat menghirup udara bersih atau minum air yang layak.
Di tengah tantangan itu, kita tetap memiliki modal besar: sumber daya alam melimpah, bonus demografi, dan generasi muda yang perlahan menunjukkan taringnya. Namun kualitas sumber daya manusia (SDM) masih menjadi pekerjaan rumah besar. Survei PISA (Programme for International Student Assessment) 2022, yang dilakukan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), menempatkan Indonesia jauh di bawah rata-rata: skor membaca 359, matematika 379, dan sains 383, dibanding rata-rata OECD 480–490. PISA menilai kemampuan siswa usia 15 tahun dalam literasi, numerasi, dan sains, sekaligus kemampuan menerapkan ilmu dalam kehidupan nyata. Partisipasi Indonesia sejak 2007 sebagai mitra utama OECD memberi data penting untuk perbaikan sektor pendidikan.
Kesenjangan pendidikan menegaskan peringatan Bung Hatta: “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin di desa.” Bila anak-anak di desa tertinggal, obor besar itu hanya akan menjadi cahaya sesaat. Namun, di berbagai lini bermunculan figur inspiratif: atlet panjat tebing dan dayung yang menorehkan prestasi dunia, sineas muda yang menerima penghargaan global, hingga aktivis lingkungan yang diam-diam menyelamatkan hutan, laut, dan sungai bagi rakyat kecil.
Chairil Anwar menulis dalam Karawang-Bekasi:
“Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi, tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi… Kenanglah kami…”
Puisi itu mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar simbol, melainkan amanat: menegakkan keadilan sosial dan membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, serta kerusakan lingkungan. WS Rendra menambahkan: “Kemerdekaan adalah keberanian untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat, dan kepada Tuhan.”
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, menekankan: “Pembangunan adalah kebebasan” — artinya pembangunan sejati adalah ketika rakyat bebas dari kemiskinan, ketakutan, dan ketidakadilan. Sementara Aung San Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian 1991, menegaskan: “The only real prison is fear, and the only real freedom is freedom from fear” — kebebasan sejati adalah bebas dari rasa takut.
Pertanyaannya kini: apa arti merdeka bila rakyat masih tercekik pajak, antre beras murah, atau terpinggirkan dari pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja? Delapan puluh tahun menenun kain bernama Indonesia Raya, benangnya ada yang rapuh, tetapi masih bisa dirajut.
Peringatan 80 tahun Proklamasi adalah momentum moral untuk menata ulang arah bangsa. Benang keadilan, benang keberanian, dan benang harapan harus dirajut menjadi pola baru. Merdeka bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan tanpa henti menuju cita-cita: Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat di mata dunia.
_____________
Penulis merupakan lulusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY) yang telah lama berkecimpung dalam gerakan sosial dan lingkungan di Kalimantan Barat. Ia pernah aktif di WWF-Indonesia selama hampir dua dekade (2000–2018), kemudian menjadi konsultan jangka pendek di berbagai lembaga, dan terakhir bekerja di USAID SEGAR (2021–2025). Saat ini ia tinggal di Pontianak dan terus berkontribusi dalam isu lingkungan hidup serta pembangunan berkelanjutan.