
Penulis: Captain APE Protector – Center for Orangutan Protection
Selasa siang, 23 September 2025, menjadi salah satu momentum penting bagi penegakan hukum dalam penyelamatan satwa liar Indonesia. Tim BKSDA Sumatera Barat dan Ditreskrimsus Kepolisian Daerah Sumatera Barat bersama Center for Orangutan Protection (COP) secara bersama berhasil menggagalkan transaksi perdagangan bagian-bagian satwa dilindungi di area parkir Bank BNI, Nanggalo, Kota Padang.
Dari operasi itu diamankan barang bukti berupa 27 kg sisik trenggiling (Manis javanica) dalam satu karung,1 unit mobil Gran Max, serta 3 orang terduga pelaku. Hasil penyidikan menetapkan dua orang sebagai tersangka: Dian Wendratno (53) dari Mentawai dan Buswarman (51) dari Kabupaten Pesisir Selatan. Keduanya kini ditahan dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV atau sebanyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak kategori VIII atau sebanyak Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) sesuai dengan ketentuan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Mari kita coba telaah perhitungan dari perdagangan gelap satwa liar ini. Dari 27 kg sisik per kilo nya dihargai sekitar 2,8 juta rupiah, maka akan menghasilkan kurang lebih 75,6 juta rupiah. Tetapi perhitungan tersebut tidaklah sebanding dengan ancaman pidana terhadap penjahat pelaku dan jaringannya yang sangatlah berat. Belum lagi kerugian terhadap alam dan lingkungan bahkan dapat lebih besar lagi. Untuk menghasilkan 27 kg sisik itu dibutuhkan paling tidak 135 ekor trenggiling yang harus dibantai, karena untuk mendapatkan 1 kg sisik saja, dibutuhkan paling tidak 3–5 ekor trenggiling . Bayangkan, seratus tiga puluh lima makhluk pemalu ini harus dibunuh, makhluk yang seharusnya bergerak dengan tenang di hutan, menjaga keseimbangan ekosistem hutan dengan memangsa rayap dan serangga-serangga hutan lainnya, harus hilang hanya demi keserakahan manusia.

Trenggiling merupakan jenis satwa yang dilindungi di Indonesia, bahkan berdasarkan ketegori global dalam IUCN Red List, trenggiling ini termasuk dalam kategori terancam kritis (critically endangered) dan populasinya sangat menurun drastis.
Trenggiling memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Sebagai pemakan semut dan rayap, mereka mampu mengendalikan populasi serangga-serangga tersebut sekaligus memperbaiki kualitas tanah melalui aktivitas menggali yang berfungsi sebagai aerasi tanah secara alami. Lubang yang ditinggalkan trenggiling bahkan menjadi tempat berlindung bagi satwa lain, sehingga turut memperkaya keanekaragaman hayati. Selain itu, trenggiling juga bagian dari rantai makanan, menjadi mangsa predator besar dan indikator kesehatan ekosistem. Kehilangan trenggiling tidak hanya ancaman bagi spesies itu sendiri, melainkan juga bagi keseimbangan hutan dan kehidupan yang bergantung padanya. Tanpa mereka, rantai kehidupan hutan terganggu. Sayangnya, mitos khasiat medis dan nilai ekonomi sesaat membuat mereka menjadi mamalia paling diperdagangkan di dunia yang membuat populasinya semakin menurun.
Penangkapan terhadap pelaku kejahatan ini adalah langkah tegas yang terukur, tetapi jkita semua juga harus ingat bahwa selama ada permintaan, maka perburuan trenggiling tak akan berhenti. Penegakan hukum ini perlu untuk menimbulkan efek jera dan harus terus menerus dilakukan secara konsisten. Selain itu yang lebih penting adalah kesadaran kita bersama, bahwa pada setiap sisik trenggiling yang diperjualbelikan ada, nyawa trenggiling yang hilang, dan ada jaringan rantai makanan dan kehidupan yang terputus di hutan.
Dr. Danang Anggoro Direktur Geopix menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada tim BKSDA Sumatera Barat dan Kepolisian Daerah Sumatera Barat serta tim COP.
“Langkah yang diambil untuk melakukan penegakan hukum ini mesti kita pantau bersama. Trenggiling-trenggiling ini tak bisa bersuara dengan bahasa yang kita mengerti, maka kitalah yang bersuara untuk mereka dan beraksi untuk melindungi trenggiling, hutan dan kehidupan. Mari kita hentikan rantai perdagangan satwa liar dilindungi ini, bukan sekedar dengan aturan belaka, tapi juga dengan pilihan kita untuk menolak segala bentuk konsumsi dan eksploitasi satwa liar secara serakah dan tidak mempertimbangkan kelestariannya di alam”.
“Bumi ini bukan hanya milik manusia tetapi juga tempat untuk berbagi ruang dan tempat tinggal bagi semua makhluk hidup, sehingga melindungi mereka berarti melindungi diri kita sendiri”pungkas Dr. Danang.