Kisah Gajah dan Konservasi Lingkungan di Desa Mekar Sari
Penulis: Meliana Aryuni
Kisah ini adalah kisah yang saya dengar dari penggiat alam dan beberapa saksi tentang keberadaan gajah Sumatera di Desa Mekar Sari Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatra Selatan. Kisah yang saya dengar ketika saya berada di sana. Kisah yang menggugah dari bapak Akromi,C. Z.Hi. SH.MH, seorang polisi hutan di sana.
Geografis Desa Mekar Sari
Seperti bunga, desa ini adalah pemekaran dari desa Gunung Raya. Batas wilayah Mekar Sari sebelah timur adalah desa Gunung Raya; sebelah selatan hutan suaka marga satwa Resort Gunung Raya; sebelah barat berbatasan dengan desa Bedeng Tiga; dan sebelah utara berbatasan dengan hutan suaka marga satwa Resort Gunung Raya.
Awalnya desa ini hanyalah hutan belantara yang dibuka oleh penjajah Belanda untuk perkebunan teh. Mayoritas penduduknya orang Jawa yang didatangkan oleh Belanda untuk menjadi pekerja perkebunan di wilayah Gunung Raya.
Dusun-dusun di desa Mekar Sari masih menggunakan istilah blok, yaitu istilah petak perkebunan teh pada masa Belanda. Meskipun sudah memiliki nama baru, istilah blok masih akrab bagi masyarakat karena sudah menjadi istilah turun-temurun. Sebagai contoh blok 7 di Pasir Raya dan blok 11 di Pasir Bintang (tempat saya tinggal dulu).
Di antara peninggalan Belanda adalah jalan poros desa Mekar Sari, penghubung antar desa, jembatan, sistem pengairan, tanaman teh yang masih ada sebagian di kebun warga, serta bekas pemukiman Belanda. Peninggalan-peninggalan tersebut sebagai saksi sejarah sekaligus pelajaran bahwa penjajahan Belanda tidak hanya menyebabkan kesengsaraan rakyat, tetapi ada hikmah positif yang bisa dipelajari.
Desa Mekar Sari pernah menjadi bagian dari desa teladan, desa terbaik se-Indonesia pada masa orde baru. Dilihat dari tata letak dan kerapian, desa Mekar Sari sudah cukup teratur, drainase yang baik, budaya hidup sehat, dengan jamban pada setiap rumah. Wajar saja karena pada masa presiden Suharto, desa ini sudah dijadikan contoh bagi desa yang lain.
Desa Pemangku Hutan Marga Satwa
Desa Mekar Sari sebagai desa pemangku hutan marga satwa sekaligus sebagai desa penyangga iklim karena dekat dengan hutan marga satwa Resort Gunung Raya yang merupakan salah satu cagar alam Indonesia. Masyarakat desa Mekar Sari bisa hidup berdampingan dengan alam khususnya hewan-hewan yang dilindungi seperti gajah, beruang, harimau, dan hewan-hewan liar lainnya.
Kadang hewan-hewan ini masuk ke kebun warga bahkan masuk ke dalam rumah seperti beruang yang suka mengambil gula dan minyak goreng untuk dimakan, monyet memetik buah dan sayuran, babi memakan palawija, dan gajah masuk desa. Jika hewan-hewan tersebut sudah berlebihan dan merusak, maka masyarakat mengusirnya dengan kentungan. Anehnya hewan-hewan itu tahu dan pindah ke tempat lain setelah mendengar bunyi kentungan.
Mekar Sari dan Gajah
Meskipun sebagian besar wilayah desa Mekar Sari sudah dijadikan perkebunan, tetapi masyarakat masih menanam pohon-pohon besar di lahan mereka. Ini merupakan bentuk dukungan sebagai desa penyangga iklim.
Kedatangan Belanda membuka perkebunan teh di wilayah ini menyebabkan keberadaan gajah terpinggirkan. Gajah pindah ke dalam kawasan hutan untuk mendapatkan makanan. Kadang-kadang gajah tersebut masih mendatangi tempat tertentu, terutama di daerah rawa. Gajah-gajah tersebut mandi berkubang di sana sambil makan beberapa tanaman kemudian kembali ke hutan.
Rombongan gajah tersebut bisa mencapai 10 sampai 50 ekor dalam sekali kedatangan. Selama tidak merusak, gajah-gajah itu dibiarkan saja oleh masyarakat. Jika banyak dan dikhawatirkan merusak kebun, maka masyarakat hanya membunyikan kentungan dan gajah pun pergi pindah ke tempat yang lain.
Beredar cerita keyakinan sebagian masyarakat bahwa gajah tersebut bukan sembarang hewan tetapi jelmaan manusia zaman dulu. Seperti sakralnya kerbau Kyai Slamet di Surakarta dan sapi di Bali. Hal tersebut diperkuat dengan adanya beberapa kejadian. Apabila ada orang yang melanggar norma adat atau bercerita buruk tentang gajah, tiba-tiba gajah tersebut sudah ada di dekatnya. Seakan-akan gajah tersebut mengingatkan agar manusia tetap dalam kebaikan.
Perluasan lahan dan kebakaran hutan menjadi penyebab awal kemarahan gajah. Pada tahun 1991, terjadi kemarau panjang di wilayah Gunung Raya dan sekitarnya. Kemarau ini menyebabkan sebagian hutan di lereng Gunung Raya mengalami kebakaran. Dampak dari kebakaran hutan tersebut menjadikan cadangan makanan bagi gajah berkurang sehingga gajah mulai mencari makanan ke kebun-kebun penduduk.
Habitat gajah mulai dijadikan tempat bercocok tanam oleh petani. Rawa yang biasanya untuk berkubang gajah dijadikan area persawahan, pinggir desa yang menyediakan makanan gajah mulai dibuat perkebunan.
Gajah Masuk Pemukiman
Cerita diawali dengan masuknya gajah ke rumah pak Sujadi di dusun Pesangrahan yang memakan semua beras di dapur. Tidak lama dari kejadian itu, pak Sujadi memindahkan rumah panggungnya ke tempat aman dengan diangkat bersama-sama warga yang lain. Memang saat itu tidak ada korban jiwa, tetapi trauma yang dialami pak Sujadi sekeluarga masih teringat sampai sekarang.
Kentungan dan Gajah
Biasanya hewan-hewan liar kalau mendengar bunyi kentungan akan berlari, khususnya gajah. Namun, sejak berkurangnya stok makanan di wilayah kawasan hutan marga satwa, seakan-akan bunyi kentungan itu sudah menjadi hal yang biasa. Gajah-gajah itu tidak mau pergi dari desa karena mereka butuh makan.
Masyarakat mulai mencari cara lain untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Sejak saat itu gajah cenderung dianggap sebagai perusak, bukan lagi sesuatu yang harus dihormati. Hingga muncullah ide membuat meriam bambu untuk pengusiran gajah dari perkampungan penduduk. Awalnya, gajah takut dengan bunyi ledakan meriam bambu, tetapi lama-kelamaan terbiasa.
Pada dasarnya keberadaan gajah membutuhkan makanan. Karena keterbatasan makanan, gajah mulai marah dengan merusak tanaman warga bahkan ada beberapa rumah yang roboh karena tersenggol gajah saat lewat. Konservasi hutan dan mengembalikan kearifan lokal sebagai solusi hidup berdampingan dengan alam.
Sekolah Gajah di Desa Mekar Sari
Masyarakat bersama pemerintah mencari cara untuk mengatasi permasalahan gajah ini. Dimotori oleh Resort polisi hutan Gunung Raya yang pada saat itu di kepalai oleh bapak Akromi. Bersama masyarakat beliau melakukan konservasi hutan yang terbakar. Gajah-gajah yang berjumlah puluhan digiring masuk ke dalam hutan.
Bagi gajah-gajah yang masih sering masuk ke perkampungan atau dekat dengan perkampungan ditangkap dan dijinakkan. Bahkan dibuatkan sekolah gajah di dusun Pesangrahan. Pelatihnya didatangkan langsung dari Thailand, yaitu bapak Sangak dan Ali.
Daerah-daerah yang tadinya dibuka sebagai perkebunan dikembalikan fungsinya menjadi hutan. Masyarakat yang masuk dalam peta konservasi ditransmigrasikan ke daerah Baturaja. Demi mendukung kelancaran program konservasi, pemerintah melibatkan ABRI. Penebaran bibit kaliandra dibantu menggunakan helikopter.
Berbagai upaya penanganan gajah sudah dilakukan, tetapi gajah itu masih saja kembali. Beberapa gajah masih sering memasuki perkampungan warga. Sampai pada suatu ketika ada seorang guru yang mau berangkat mengajar ke sekolah bertemu dengan seekor gajah. Beliau bernama pak Mastur.
Pak Mastur termasuk guru teladan dan pernah diundang langsung ke istana presiden di Jakarta oleh pak Suharto. Beliau biasa berangkat jalan kaki sangat pagi dari desa Gunung Raya ke Talang Pohon, yang jaraknya kurang lebih 8 Km. Ketika sampai di daerah Kiwis Raya, beliau bertemu dengan gajah. Ternyata gajah itu adalah gajah liar yang dijuluki si Jambul. Si Jambul langsung menginjak pak Mastur hingga meninggal dunia.
Si Jambul adalah gajah yang memiliki ukuran sangat besar bila dibandingkan dengan gajah yang lain. Menurut warga, si Jambul adalah raja gajah atau pimpinan rombongan gajah. Warnanya yang agak kemerah-merahan dan memiliki jambul. Sejak kejadian itu banyak warga yang ketakutan, sebagian ada yang balik ke Jawa, sebagian ada yang ikut program transmigrasi ke daerah Baturaja Ogan Komering Ulu.
Sekolah gajah sebagai traumatic healing masyarakat terhadap keganasan gajah. Dengan adanya beberapa kejadian gajah masuk kampung dan merusak sampai menimbulkan korban jiwa, terjadi trauma social dalam masyarakat. Ketakutan yang berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat harus segera ditangani sama pentingnya dengan konservasi hutan yang gundul akibat kebakaran hutan.
Masyarakat bersama pemerintah mencari solusi. Masyarakat yang masih bertahan di daerah Mekar Sari dan sekitarnya kebanyakan mereka sudah pasrah karena tidak tahu lagi harus pindah ke mana. Mereka tidak kenal dengan keluarga yang di Jawa karena yang asli dari Jawa adalah bapak atau nenek mereka yang dibawa Belanda sebagai pekerja perkebunan, sedangkan sejak saat itu mereka belum pernah diajak pulang ke Jawa karena kondisi yang tidak memungkinkan dalam tekanan penjajah Belanda.
Sampai Indonesia merdeka pun mereka hanya sekedar mendapat cerita turun temurun bahwa leluhur mereka dari Jawa. Mereka tidak mau ikut program transmigrasi dan pasrah hidup mati tetap bertahan karena di Mekar Sari. Melihat kondisi masyarakat yang memerlukan perhatian khusus, pemerintah melalui kepolisian kehutanan Resort Gunung Raya mengirim utusan ke Thailand untuk belajar tentang gajah.
Pada saat itu bapak Akromi, selaku kepala Resort polisi kehutanan Gunung Raya dikirim untuk belajar tentang gajah. Sepulangnya, pak Akromi membuka sekolah gajah di Pesanggrahan dan dibantu oleh para jajaran polhut Resort Gunung Raya. Tujuannya agar masyarakat tidak takut lagi terhadap gajah.
Gajah yang sekolah ini adalah gajah asli hutan suaka marga satwa Gunung Raya. Mereka dipikat dengan gajah yang sudah jinak dan ditembak bius, lalu dibawa ke sekolah gajah. Sejak penangkapan sampai benar-benar jinak (bisa main sepak bola), memerlukan waktu pelatihan kurang lebih 14 bulan. Setiap gajah membutuhkan makan dua pikul pakan untuk itu setiap gajah membutuhkan satu orang pencari pakan. Mereka adalah pak Sujadi, pak Loso, pak Sukardi, pak Hartono, dan pak Nasri. Sekolah gajah bertahan selama tiga tahun saja. Lalu, dipindahkan ke Way Kambas Lampung.
Adanya sekolah gajah ini, masyarakat jadi tahu bahwa sebenarnya gajah itu juga bisa dijinakkan dan bisa hidup berdampingan dengan manusia. Gajah tidak akan mengganggu manusia selama keberadaan mereka tidak terusik. Bila habitat aslinya terancam, maka mereka pun akan melakukan pembelaan diri. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali terus melestarikan hutan suaka marga satwa Indonesia.




