Menjaga Rimba: Kejahatan Satwa Liar dan Kedaulatan Ekologis Indonesia
Penulis: Krismanko Padang, SH., MH.
Jakarta, 26 Agustus 2025. Indonesia adalah negeri dengan kekayaan hayati yang luar biasa, sebuah anugerah yang menjadikannya salah satu dari sedikit negara di dunia yang menyandang predikat megabiodiversity. Negeri ini memiliki 720 spesies mamalia (13% dari total dunia), 1.606 jenis burung (16%), 385 jenis amfibi (6%), 723 jenis reptil (8%), dan 1.248 jenis ikan air tawar (9%). Indonesia menyimpan lebih dari sekadar kekayaan hayati yang direpresentasikan oleh jumlah-jumlah spesies yang telah terdata, tetapi juga sistem kehidupan yang menjadi penopang peradaban manusia itu sendiri.
Setiap spesies adalah ciptaan yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, menjadi penjaga iklim, penyangga sumber pangan, dan peredam potensi wabah zoonosis. Namun spesies-spesies yang menjadi kekayaan bangsa ini, ini tidak bebas dari ancaman. Perdagangan ilegal satwa liar terus meningkat dari tahun ke tahun, tumbuh antara 5 hingga 7 persen setiap tahun, dua hingga tiga kali lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi global. Nilai kejahatan ini secara global mencapai miliaran dolar AS dan dikategorikan sebagai Kejahatan Transnasional Terorganisir atau disebut sebagai Transnational Organized Crime (TOC), setara dengan kejahatan narkotika, perdagangan manusia, dan penyelundupan senjata.
Berbagai modus operandi kejahatan satwa liar terus berkembang. Di antaranya, penyelundupan satwa dalam kemasan botol atau kargo barang lain, penggunaan dokumen palsu, pemanfaatan pelabuhan tak resmi, suap terhadap oknum petugas, hingga pengiriman ekspedisi tanpa identitas. Salah satu contohnya, pada periode Mei s/d September 2023, terjadi penyelundupan orangutan dari Indonesia ke India melalui jaringan kriminal yang melibatkan empat yurisdiksi lintas negara yaitu Indonesia, Thailand, Pakistan, dan India. Penyelundup menggunakan rekaman video bayi orangutan lengkap dengan catatan tangan bertanggal untuk meyakinkan pembeli.
Pada tahun 2025, investigasi berhasil mengidentifikasi 71 simpul jaringan perdagangan satwa, 18 diantaranya jaringan lintas negara, dengan 31 pelaku telah ditangkap, termasuk 8 pelaku utama yang merupakan pemain transnasional. Jaringan ini tetap kuat dan berkembang walau beberapa pelaku telah ditangkap, karena penegak hukum kita tidak menggunakan pendekatan multidoor dan tidak menelusuri aliran dana. Aliran dana para pelaku ini sebenarnya bisa diungkap dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Indonesia secara spesifik juga sudah memiliki kerangka hukum yang kuat untuk mengatasi permasalahan perdagangan satwa liar ini. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MenLHK/Setjen/Kum.1/2018 yang memuat daftar denis tumbuhan dan satwa dilindungi, serta berbagai peraturan lain yang mencakup perburuan, pengangkutan, hingga penanganan barang bukti.
Konservasi satwa liar tidak hanya tentang spesiesnya, tetapi juga terkait dengan habitat bagi satwa liar tersebut. Indonesia telah menetapkan kawasan konservasi yang mencakup: 214 Cagar Alam (4,25 juta ha), 80 Suaka Margasatwa (4,98 juta ha), 54 Taman Nasional (16,23 juta ha), 134 Taman Wisata Alam (830 ribu ha), 34 Taman Hutan Raya (370 ribu ha), dan 11 Taman Buru (170 ribu ha. Di wilayah pesisir dan laut, terdapat 172 Kawasan Perlindungan Laut Daerah seluas 20,8 juta hektar. Namun luas kawasan saja tak menjamin perlindungan. Pada 24 April 2022, tiga harimau Sumatera ditemukan mati karena jerat pemburu di wilayah HGU PT Aloe Timur, Aceh Timur. Hasil Autopsi menunjukkan ketiganya mati karena infeksi luka jerat. Pelaku pemburu bukan jaringan internasional, tetapi warga lokal yang terlibat dalam praktik ilegal yang didiamkan terlalu lama.
Tantangan penegakan hukum masih sangat nyata: keterbatasan personil dan peralatan, lemahnya koordinasi lintas sektor, serta budaya permisif yang masih menganggap satwa liar sebagai milik umum yang bebas ambil. Bahkan di kalangan aparat sekalipun, masih ada oknum yang terlibat dalam penyelundupan. Tapi meski tantangan besar, harapan tetap ada. Karena setiap kejahatan yang terorganisir bisa dihadapi dengan gerakan yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih berani. Sinergi antara pemerintah, TNI, lembaga penegak hukum, masyarakat sipil, hingga kerja sama internasional adalah kunci.
Penguatan patroli, intelijen, audit perizinan, dan penindakan tegas tanpa tebang pilih harus dilakukan secara konsisten. Yang tidak kalah penting adalah perubahan budaya dengan membangun kesadaran publik bahwa satwa liar bukan komoditas, melainkan makhluk hidup yang juga menjadi bagian dari suatu ekosistem. Edukasi dan kampanye publik harus menyasar di semua tingkatan sosial, generasi muda, komunitas lokal, hingga pasar daring tempat transaksi ilegal berlangsung secara sembunyi-sembunyi.
Kita sedang berpacu dengan waktu. Setiap saat mungkin akan ada seekor harimau harus mati karena jerat, atau seekor gajah dibunuh hanya demi gading untuk pipa rokok mewah dan hiasan rumah. Setiap hari ada nyawa yang hilang, setiap bulan ada habitat yang hilang. Tapi kita masih bisa memilih: menjadi bangsa yang dikenang sebagai penjaga kehidupan, ataukah sebagai generasi yang menyaksikan kepunahan dengan diam?.
Menyelamatkan satwa liar lebih dari sekadar menyelamatkan makhluk Tuhan lain, tetapi ini adalah perjuangan untuk menyelamatkan identitas bangsa, warisan leluhur, pinjaman anak cucu dan masa depan umat manusia. Karena pada akhirnya, ketika kita menyelamatkan satwa liar, kita sedang menyelamatkan diri kita dan kehidupan itu sendiri.
_____________
Tentang Penulis:
Penulis adalah ahli di bidang konservasi dengan pengalaman lebih dari 20 tahun dalam penegakan hukum satwa liar, reintroduksi orangutan, dan advokasi konservasi, serta pernah menjabat Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia. Krismanko telah mengikuti berbagai pelatihan dan konferensi internasional di Asia, Australia, Eropa, dan Amerika. Saat ini juga bertugas sebagai ASN dengan jabatan Analis Muda Kebijakan di Ditjen KSDAE Kementerian Kehutanan.




Jangan setelah semua nya punah baru sadar. Penyelamatan TSL merupakan salah satu kewajiban semua pihak, dalam progres penyelamatan dan keberhasilan dalam konservasi dari ancaman kepunahan akan terlihat dari proses kehidupan di muka bumi, sebagai umat manusia mahkluk yg paling sempurna harus tahu itu.